Skip to main content

Lakon ALJABAR Naskah Karya Zak Sorga

















Lakon
ALJABAR
Naskah Karya Zak Sorga
























SEBUAH TEMPAT. LUKISAN-LUKISAN DAN KANVAS-KANVAS BERGANTUNGAN DAN BERSERAKAN DIMANA-MANA.  DUA  ORANG  MANUSIA  SEDANG  MENGHADAP  KANVAS  MASING-MASING, MEREKA  SAMA-SAMA  MELUKIS.  ORANG  II  MELUKIS  DENGAN  AMAT  BERAT,  TUBUHNYA, TANGANNYA,  JARI-JEMARINYA  TAK BERGERAK  SEDIKITPUN,  SEOLAH DIA MEMANGGUL DUNIA,
TAK  BERGESER. ORANG  I MELUKIS  DENGAN  KEGELISAHAN  YANG  AMAT  SANGAT  KEMUDIAN LUKISAN ITU IA ROBEK-ROBEK. KEMUDIAN IA MELUKIS LAGI, DIROBEK-ROBEK LAGI, MELUKIS LAGI,  DIROBEK  LAGI,  DIINJAK-INJAK,  DIBANTING,  DIUMPAT,  DILUDAHI,  TERUS  DAN  TERUSMELUKIS,  MEROBEK,  MEMBANTING,  MENGINJAK,  MENGUMPAT,  MELUDAHI,  SAMPAI PUNCAK, SAMPAI PUNCAK, DAN KEMUDIAN

ORANG I  
Sekarang semuanya sudah klimaks.

ORANG II  
Kita belum lagi mulai.

ORANG I  
Sekarang semuanya sudah lampau.

ORANG II  
Kita belum lagi mulai.

ORANG I  
Sekarang semuanya sudah malam.

ORANG II  
Kita belum lagi menemukan pagi.

ORANG I  
Pagi tak akan pernah datang.

ORANG II  
Matahari harus terbit.

ORANG I  
Oh...  aku hanya  ingin  tahu  apa kegelisahan hanya milik kita berdua.

ORANG II  
Sudah pasti tidak ada dunia lain kecuali dalam batin kita.

ORANG I  
Melingkar-lingkar tanpa arah dan batas, sampai kapan?

ORANG II  
Sepertinya tidak ada lagi yang bernafas di sini.

ORANG I  
Seharusnya kita sudah berhenti dari dulu.

ORANG II  
Kita tidak mungkin bisa berhenti.

ORANG I  
Aku sudah macet.

ORANG II  
Aku ingin sekali.

ORANG I  
Tidak ada, harus ada.

ORANG II  
Apa  ini  yang  membuat  sakit  tengkorak  kepalaku,  dia bersarang  di  otak  belakang.  Membuat  segalanya  jadi lamban.

ORANG I  
Ada  dunia,  ada  tangan  berkuku,  tangan  itu mencengkeram  dunia  sampai  berdarah-darah.
Diguncang-guncang,  kita  berdua  terpelanting  sampai  di sini.

ORANG II  
Kita masih di dunia.

ORANG I  
Kita  sudah  ketinggalan,  hari-hari  telah  melesat  dan simpang-siur entah kemana.

ORANG II  
Mana  kamisku, mana  jumatku, mana malam mingguku, mana  pelacurku,  mana  agamaku,  mana  kelaminku? Semua berhamburan dalam omong kosong tentang hidup dan mati.  

ORANG I  
Mengais-ngais,  mengunyah-ngunyah,  melorong-lorong, membelit-belit,  mana  fikiranku?  Campur  aduk  di  sini, membatu.

ORANG II  
Ayo  kita melukis  lagi. Kita  lukis  kegelisahan  kita. Kita lukis  risau  kita. Kita  lukis  galau  kita. Kita  lukis  kacau. Kecambah  dimana-mana,  jamur  dimana-mana. Ayo  kita lukis  kehidupan,  kita  lukis  kematian.  Itu  tugas  kita sebagai manusia.

ORANG I   
Mana mungkin?

ORANG II  
Tahun ini harus jadi milik kita, mari kita rebut.

ORANG I  
Kita tidak pernah punya tahun.

ORANG II  
Makanya harus kita rebut.

ORANG I  
Tidak! Selamat malam untukmu.

ORANG II  
Semua ini harus menjadi pemikiran kita.

ORANG I  
Justru  itu. Dengan mengucapkan  selamat malam  berarti aku telah berpikir.

ORANG II  
Telah?

ORANG I  
Terus  berpikir.  Aku  berpikir  bagaimana  caranya melupakan semuanya dan diam.

ORANG II  
Kau tak mungkin bisa lupa.

ORANG I  
Kenapa tidak? Aku toh bukan Tuhan.

ORANG II  
Bagaimanapun  juga  kau  tidak  akan  pernah  bisa melupakan tugasmu.

ORANG I  
Tugas? Apa maksudmu?

ORANG II  
Tugas pelukis adalah melukis.

ORANG I  
Aku bukan pelukis, aku terpaksa.

ORANG II  
Tapi itukan yang membuatmu hidup.

ORANG I  
Ya, karena aku  tidak bisa melakukan apa-apa,  tidak ada pilihan  lain.  Begitu  aku  lahir  aku  sudah  dihadapkan kanvas-kanvas dan cat.

ORANG II   
Mampuslah kita.

ORANG I  
Membujurlah  kita.  Bosan!  Jenuh!  Beku!  Mandul! Impoten! Lumpuh! Tidur yuk!

ORANG II 
Ayo! 

(mereka  berangkat  mau  tidur) 

Bagaimana  kalau sebagai penghantar tidur, kita melukis lagi.

ORANG I  
Aku lebih suka kalau kau mendongeng saja.

ORANG II 
Iya, kita akan mendongeng lewat lukisan kita.

ORANG I  
Ayo kalau begitu. Kita ciptakan dunia. Mereka  serentak melukis. Orang  I melukis  sambil berteriak  terus  tak berhenti, tak berhenti. Orang II melukis dengan kegelisahan tanpa suara.

ORANG I (sambil melukis)
Asap panas terkatung-katung di angkasa raya,  bumi  belum  berbentuk  dan  gelap  gulita  menutup samudera raya. Lalu terang itu jadi, lalu siang itu terjadi, lalu malam itu jadi lalu pagi itu jadi lalu sore itu jadi, lalu embun lalu hari pertama lewat, lalu angin, lalu suara, lalu planet-planet,  lalu  batu-batu,  lalu  pasir,  lalu  kerikil,  lalu duri,  lalu  karang,  lalu  hari  yang  kesekian  kalinya  itu lewat,  lalu  pedih,  lalu  perih,  lalu  resah,  lalu  kalah,  lalu musnah,  lalu  punah,  lalu  bah.  Bah!  Ilalang, rumput-rumput, lalu burung-burung, lalu kupu-kupu, lalu kupu-kupu malam, germo, hidung, uap, senyap, penyakit, lalu  kembali  lagi  pada  mati,  hari-hari  mati,  lalu  terus, terus,  kering,  hijau,  kuning,  kering,  ranggas,  bakar,  lalu panas,  lalu dingin,  lalu  tumbuhan,  lalu air,  lalu uap,  lalu awan,  lalu kabut,  lalu sepi, sungai, anak sungai, gunung, belut,  laut,  ikan, pohon, rumput, cacing, buaya, manusia, kepala,  putus,  darah,  anjing.  Kepala  manusia,  anjing kelaparan,  kengerian,  pengkhianatan,  lalu  pembunuhan pertama  itu  terjadi,  tangis  pertema  itu  berkumandang, benci  pertama  itu  berkembang,  kerisauan  pertama  itu berbiak,  cemburu-cemburu,  bunuh-bunuh, makan-makan-makan,  lalu  dunia  beterbangan,  lalu  sepi itu  menggelayuti,  rindu,  perih,  batu,  hujan,  awan, tumbuh,  lenguh,  rengek,  ringkik,  lecut,  kuda,  anjing, belut,  harimau,  kucing,  cacing,  tengkorak,  nyamuk,
darah, nanah, busuk, dendam,  sepi yang menahun,  rindu batu,  sungai  lapar,  laut  lapar,  mega  lapar,  udara  lapar, batu  lapar,  siang  lapar,  sore  lapar,  malam  lapar,  pagi lapar,  dunia  lapar,  semut  lapar,  harimau  lapar,  buaya lapar,  matahari  lapar,  bulan  lapar,  bintang  lapar, pulau-pulau  lapar,  danau-danau  lapar,  bulan  lapar, terbit-tenggelam, matahari  di  sini,  bulan  di  sini, bintang di  sini.  Jangan  beranjak,  jadi  sudah. 

SAMA-SAMA MENARUH KANVAS

ORANG II  
Hampir

(sama-sama mengamati lukisan)

apa yang kau kerjakan?

ORANG I  
Penciptaan dunia, kau?

ORANG II  
Menggambar peta perjalanan. Sekarang aku sampai pada batas dunia, di mana matahari  tenggelam dalam  laut-laut yang berlumpur hitam.

(TUKAR-MERUKAR LUKISAN)

ORANG I  
Kau gambar diriku di sini?

ORANG II  
Lihat saja, apa kau ada di situ.

ORANG I  
Di sini semua gambar asap.

ORANG II  
Di sini semua gambar anjing.

ORANG I  
Gambar darah berceceran.

ORANG II  
Apa kau tidak mendengar jeritan di situ?

ORANG I  
Lolongan yang sangat panjang. Anjing kelaparan. Anjing itu menjilat-jilat kepala manusia, kepala  itu dimakannya, diremukkan,  dikunyah-kunyah.  Oh?  Mata  itu  meloncat keluar. Mata  itu  terbang  berputar-putar  menatap  dunia, melayang-layang, mata itu berkedip-kedip minta tolong.

ORANG II  
Seharusnya  di  sini  ada  perahu,  inikan  air? Bahkan  laut, bahkan  membuak,  perahu  Nuh  pasti  tenggelam  di  sini, juga  kanaan,  juga  dzulkarnain  yang  diberkati  itu,  juga Picasso, Van Gogh, Descartes, Budha, Plato, Aristoteles, Caligula,  Firaun, Muhammad,  Isa  .....semua  terkubur  di sini. Kenapa mata itu tidak kau hancurkan saja.

ORANG I  
Itu adalah keinginannya sendiri.

ORANG II  
Keinginan siapa?

ORANG I  
Keinginan mata itu.

ORANG II  
Dia masih bisa meneteskan air mata, dia menangis.

ORANG I  
Kenapa  hanya mata  itu  yang  jadi  perhatianmu? Di  situ masih ada matahari, bulan, laut, bintang, air, angin, ...

ORANG II  
Mata itu adalah mataku.

ORANG I  
Itu adalah mata semua manusia.

ORANG II  
Kepalaku dimakan anjing.

ORANG I  
Kepala semua manusia.

ORANG II  
Kamu jabarkan duniaku, aku jabarkan duniamu.

ORANG I  
Aku  jabarkan  kemanusiaanmu,  kamu  jabarkan kemanusiaanku.

ORANG II  
Kamu jabarkan mataku, aku jabarkan matamu.

ORANG I  
Kamu  jabarkan    matahariku,  bulanku,  bintangku, palangiku,  aku  jabarkan  lukamu

(MEREKA  MEMELUK LUKISAN YANG MASIH BASAH)

ORANG II  
Dari mana datangnya bayangan menakutkan seperti ini.

ORANG I  
Dari sejarah yang hilang.

ORANG II  
Aku semakin takut.

ORANG I  
Kita sudah tercerabut dari dunia ini.

ORANG II  
Kita sudah tidak di sini.

 ORANG I  
Kita sudah di sana.

ORANG II  
Kita sudah tidak dimana-mana.

ORANG I  
Ada garis yang putus di sini. Mereka merobek-robek lukisannya.

ORANG I  
Kita buta.

ORANG II  
Kita tuli.

ORANG I  
Kita gagu.

ORANG II  
Kita batu.

ORANG I  
Kita bisu.

ORANG II  
Kita kaku.

ORANG I 
Kita lumpuh.

ORANG II  
Kita mayat.

ORANG I  
Kita mumi.

ORANG II  
Habis!

ORANG I  
Tak berjejak.

(DIAM SEJENAK, LOYO)

ORANG II  
Kita tidak pernah bisa mengungkapkan isi hati kita.

ORANG I  
Betapa sulitnya merumuskan pikiran.

ORANG II  
Ayo, kita coba lagi.

ORANG I  
Tidak ada gunanya.

ORANG II  
Sebelum semuanya terkubur kita harus cepat bergerak.

ORANG I  
Kita sudah terkubur sejak kelahiran kita.

ORANG II 
Kita harus terus melukis.

ORANG I  
Kita harus berhenti.

ORANG II  
Kita  akan  pamerkan  kulisan-lukisan  kita  ke  kota-kota seperti  dulu,  kita  akan  melancong  lagi.  Kita  akan kunjungi  pulau-pulau,  negara-negara,  kita  akan  keliling dunia. Kita akan puas, kita akan tercatat.

ORANG I  
Aku  sekarang mulai  berada  antara  tahu  dan  tidak  tahu, aku  telah  dikhianati  oleh  diriku  sendiri.  Aku  sekarang tidak  bisa  berbuat  apa-apa,  aku  telah mandul,  aku  tidak punya kekuatan.

ORANG II  
Kau harus mencoba terus, kau masih muda.

ORANG I  
Aku sudah tidak mampu lagi.

ORANG II  
Kau  mampu,  kau  lihat  karya-karya  ini,  semua menakjubkan.

ORANG I  
Bohong. Ke mana  larinya  coretan-coretanku  yang  dulu, ke mana larinya tokoh-tokohku. Kita bukan pelukis, mari kita  robek  lukisan-lukisan  kita. 

(mengambil  lukisan  dan merobek-robek)

ORANG II  
Jangan.  Kita  akan  pamerkan  lukisan  kita  ke  seluruh dunia.

(ORANG I TERUS MEROBEK LUKISAN)

ORANG I  
Dunia  tidak pernah melihat kita, ayo kita ciptakan dunia kita sendiri. Kita harus ciptakan dunia kita sendiri.

ORANG II  
Kita harus terus melukis sebanyak-banyaknya.

ORANG I  
Kita harus diam. Kita sudah tidak punya objek lagi.

ORANG II  
Masih banyak yang belum kita baca.  

ORANG I  
Kita tidak punya objek lagi.

ORANG II  
Masih banyak yang belum kita lihat.

ORANG I  
Mana objekku.

ORANG II  
Masih banyak yang belum kita kunyah.

ORANG I  
Mana objekku.

ORANG II  
Kita harus terus berjuang.

ORANG I 
Kau tidak pernah bisa memahami keinginanku.

ORANG II  
Kau yang tidak bisa.

ORANG I  
Semuanya  sudah  punah.  Tidak  ada  lagi  yang  harus diperjuangkan.

ORANG II  
Jiwa kitalah yang harus kita perjuangkan. Kita tidak akan pernah  bisa  bangkit  kalau  terus  saja  berpusar  pada fikiran-fikiran kita sendiri.

ORANG I  
Maumu?

ORANG II  
Coba  lihatlah  di  pasar-pasar,  begitu  banyak  kehidupan. Kita  lahir  dan  kita  bisa  jadi  apa  saja  di  situ.  Kita  bisa memilih peran kita sendiri. Kenapa  tidak kita coba. Kita
bisa  jadi  pencopet,  juragan,  penipu,  pejabat,  germo, terserah apa yang kita maui.

ORANG I  
Aku  tidak memilih apa-apa. Aku akan ciptakan duniaku sendiri.

ORANG II 
Dunia  apalagi?  Cepatlah  bergerak  sebelum  kita  tergilas oleh jaman.  

ORANG I  
Aku tidak peduli.

ORANG II  
Kau  tentu  akan  terus  melukis,  itukan  dunia  yang  kau maksud. Ayo, pergilah ke pasar-pasar dan lukislah wajah orang-orang itu. Itu akan lebih berguna buat diri kita.

ORANG I  
Aku tidak punya tempat.

ORANG II  
Kau  jangan  menyiksa  diri,  dengan  penjara-penjara pikiran  itu  akan  lebih  cepat membawamu ke  arah maut. Marilah  kita  hidup  sebagai  orang  kebanyakan,  sebelum aku mati tentukan sikapmu, melukislah, melukislah.

ORANG I  
Kota-kota,  hutan-hutan,  angin-angin,  gunung-gunung, air-air,  laut-laut,  pasir-pasir,  matahari-matahari, bulan-bulan,  bintang-bintang,  manusia-manusia, semuanya  sudah  tidak  ada  lagi.  Kita  sudah  ketinggalan jauh, semuanya sudah berhenti.

ORANG II  
Dunia masih berputar.

ORANG I  
Kehidupan telah mati.

ORANG II  
Matahari masih terbit.

ORANG I  
Matahari  telah  terbakar  oleh  panasnya  sendiri,  dia  jadi arang, dia jadi abu, dia berhamburan, dia menghilang, dia musnah!

ORANG II  
Lantas apa maumu?

ORANG I (diam)

ORANG II  
Lantas apa maumu?

ORANG I  
Ngeseks. Berilah aku seks.

ORANG II  
Aku tidak mau.

ORANG I  
Lakukan kalau kau ingin semua ini berlanjut.

ORANG II  
Aku tidak bisa.

ORANG I  
Kau harus bisa karena di sini tidak ada makhluk lain.

ORANG II  
Aku tidak mampu. Aku sudah tua.

ORANG I  
Cobalah. 

(mencoba,  gagal,  mencoba  lagi) 

Teruslah berusaha, kalau tidak kau akan aku tinggalkan.

ORANG II  
Aku tidak bisa.

ORANG I  
Tak ada gunanya.

DIAM SEMUA, ORANG II MENANGIS

ORANG II  
Kau keterlaluan, kau telah mengungkit masa laluku. Ayo berdirilah di situ.

ORANG I  
Untuk apa?

ORANG II  
Berdirilah di sudut situ.

ORANG I  
Untuk apa?

ORANG II   (mengancam)
Lakukan saja, kau jadi modelku.

ORANG I  (menurut)

ORANG II  
Sekarang lepaskan bajumu.

ORANG I  
Tidak mau.

ORANG II  
Ayo lepaskan bajumu. Juga celanamu.

ORANG I  (menuruti)

ORANG II  
Dengan cara ini dulu aku pernah bisa.

ORANG I  
Apa maksudmu?

ORANG II  
Aku  akan  peragakan  awal  terjadinya  manusia. Telanjanglah,  telanjanglah 

(dia  menyergap  orang  I, seolah memperkosanya. Mencoba,  terus mencoba, orang I hanya diam, sampai    akhirnya)

Aku tidak bisa! Dengan cara  inilah  pelacur  itu  kulukis,  aku  diperkosa  oleh pancaran  seksualnya.  Ya,  seperti  itulah  dia  duduk,  aku menggelepar  dan  tak  tahu  apa  yang  terjadi.  Paginya kulihat  kamarku  telah  kosong,  lukisan-lukisanku  hilang bersama pelacur itu.

ORANG I  
Sesalilah keberadaanmu, akan kulukis tentang penyaliban manusia.

ORANG II  
Dengarlah ceritaku.

ORANG I  
Tak ada gunanya.

ORANG II  
Kau adalah rentetan dari kejadian itu.

ORANG I  
Maksudmu?

ORANG II 
Enam  tahun  kemudian,  setelah  aku  lupa,  pelacur  itu kembali dengan bayi di pangkuannya, dia bilang bayi itu adalah  anakku,  aku marah,  tapi  kemarahan  itu  tiba-tiba hilang  karena  gairah  seksku  naik  dan  pelacur  itu kuperkosa sampai mati. Sampai mati.

ORANG I  
Aku tidak peduli siapa bayi itu.

ORANG II  
Bayi itu adalah kamu.

ORANG I  
Aku tidak peduli dari siapa aku dilahirkan, karena semua kejadian toh akan membawa akhir yang sama.

ORANG II  
Maafkan, maafkan aku.

ORANG I  
Diamlah.

ORANG II  
Semua orang  sibuk mempersiapkan nasibnya,  sementara
kau? Dari  kecil  kau  hanya  kubawa mondar-mandir  dari
pasar ke pasar untuk menjajakan lukisan.

ORANG I  
Kita  ini  pasien-pasien  tanpa  dokter.  Ajarilah  aku
bagaimana caranya bunuh diri, itu akan lebih baik.

ORANG II  
Kau harus membunuhku.

ORANG I  
Kaulah yang wajib membunuhku.

ORANG II  
Tolong bunuhlah aku.

ORANG I  
Tolong bunuhlah aku.

ORANG II  
Aku tidak punya keberanian.

ORANG I  
Aku juga tidak punya keberanian.

ORANG II  
Pada akhirnya kita akan terus terkatung-katung.

(DIAM SEMUANYA. UNTUK BEBERAPA LAMANYA TIDAK ADA KEJADIAN APA-APA)

ORANG I  
Mari kita robek-robek dunia.

ORANG II  
Aku mendengar tulang-tulangku berderit-derit seperti daun pintu. Inikah awal dari yang paling awal itu?

ORANG I  
Kita mati dan berubah jadi kepompong.

ORANG II  
Marilah  kita  lukis  wajah-wajah  dunia.  Semua  harus diabadikan, semua harus dicatat.

ORANG I  
Kita  tidak  akan  pernah  samapai.  Kehidupan  tidak  akan cukup dengan waktu hanya seribu tahun bahkan satu juta tahun pun tidak. Manusia, yang katanya dilahirkan untuk
membaca,  bagaimana  mungkin  membaca  kehidupan hanya dengan waktu enam puluh tahun.

ORANG II 
Jangan kau kembalikan lagi aku pada momok itu.

ORANG I  
Kita akan segera terlewat.

ORANG II  
Ooo..., monolog risaumu. Berilah aku tidur.

ORANG I  
Semua  makhluk  telah  menentukan  sikapnya masing-masing.

ORANG II  
Tinggal kita yang ada di sini.

ORANG I  
Menghitung rumus-rumus.

ORANG II  
Mengalikan rumus-rumus.

ORANG I  
Membongkar  langit-langit, menikam  langit. Meledaklah. Meraung!

ORANG II  
Berhamburan  dunia  di  sana,  di  sini,  di  situ,  di  jalan raya-jalan  raya,  supermarket-supermarket, terminal-terminal,  night  club-night  club,  pasar malam-pasar malam, sirkus. Semua  ini  tidak mempunyai hubungan dengan fungsi-fungsinya.

ORANG I  
Kita  tidak pernah  terlibat  sedikitpun,  juga dengan hidup kita.

ORANG II  
Kita hanya menonton.

ORANG I  
Kita hanya dipermainkan

ORANG II  
Kita tak pernah jadi subjek.

ORANG I  
Seharusnya kita sama-sama punya hak.

ORANG II  
Selamatkan aku dari sini.

ORANG I  
Lepaskan dulu aku dari kemutlakan ini.

ORANG II  
Lepaskan aku dari kaidah-kaidah ini.

ORANG I  
Menginjak-injakku, mencekikku.

ORANG II   
Aku tidak sanggup.

ORANG I  
Ayo  kita  isi  dunia  dengan  kata-kata,  keluarkan  ususmu, keluarkan  tulang-tulangmu,  keluarkan  dagingmu, kuliti-kuliti,  jantungmu  keluarkan,  keluarkan  dan  ikat dengan  petasan,  kemudian  ledakkan  seperti  tatkala  kita bermain dimasa kanak-kanak yang hilang.  

ORANG II (ketakutan) 
Diamlah!  Kau  lihat  kanvas-kanvas  itu bergerak,  mereka  minta  nyawa,  mereka  minta  hidup,
mereka minta  nafas,  kita  dikurung  oleh  kanvas-kanvas, kita  terjebak disini. Tolonglah  aku,  aku  lapar,  aku haus, aku muak  ... 

(tak ada  jawaban)

kenapa kau biarkan aku tenggelam dalam diamku yang gaduh ini.

ORANG I  
Monster-monster  itu  dari  mana  datangnya,  kita  akan dilumat oleh zaman.

ORANG II  
Kanvas-kanvas itu jadi monster, mereka memanggil kita. Kita harus lari, mereka minta dilukis, ayo kita lari ....

ORANG I  
Kesimpangsiuran ini. Rancu. Segalanya rancu! Aku tidak bisa menjelaskan  kata-kataku,  pikiranku melintas-lintas, kita ini akan dibawa ke arah mana?

ORANG II  
Kita tidak boleh salah pilih.

ORANG I  
Mana  kakiku,  mana  tanganku,  mana  kupingku,  mana mataku,  mana  jantungku,  mana  kananku,  mana  kiriku, mana atasku, mana bawahku, mana-mana ....

ORANG II  
Mana dunia, mana warna,  cat-catku,  catku mana? Mana merah,  mana  kuningku,  mana  hijauku,  mana  hitamku, mana putihku, mana dunia?

ORANG I  
Mana akherat?

ORANG II  
Kita harus hadir.

ORANG I  
Tenggelam.

ORANG II  
Agama? Agamamu apa?

ORANG I  
Islam agamaku, Yesus nabiku. Mau apa kau?

ORANG II  
Tuhanmu? Siapa Tuhanmu?

ORANG I  
Allah Tuhanku. Maria tetanggaku. Mau apa kau?

ORANG II  
Semua kemarilah akan kutuding-tuding matamu.

ORANG I  
Jangan salahkan aku, jangan kau maki aku.

ORANG II  
Kita akan dihukum.

ORANG I  
Aku tidak mau.

ORANG II  
Kita akan dirajam.

ORANG I  
Aku tidak mau.

ORANG II  
Kau mabuk ke-aku-an.

ORANG I  
Kau mabuk diri sendiri.

ORANG II  
Kau mabuk pertanyaan.

ORANG I  
Kau mabuk jawaban.

ORANG II  
Kau mabuk risau.

ORANG I  
Kau mabuk bimbang.

ORANG II  
Kau mabuk Karlmark.

ORANG I  
Kau mabuk Israel.

ORANG II  
Kau mabuk agama, kau mabuk Tuhan.

ORANG I  
Kau mabuk kentut.

ORANG II  
Akankah  kita  terus  bertanya-tanya  seperti  ini. Bertahun-tahun  kita  hanya  melewatkan  waktu  dengan mondar-mandir.

ORANG I  
Buntu!  Macet  total!  Aku  pergi  ke  utara  yang  kutemui hanya  benda-benda  mati,  aku  pergi  ke  timur  yang kutemui hanya udara, aku pergi ke selatan yang kutemui hanya angin, aku pergi ke barat yang kutemui hanya diri sendiri, dimana-mana hanya diriku  sendiri. Dimana arah
mata angin?

ORANG II  
Tidak ada lagi kiblat.

ORANG I  
Ayolah kita keluar dari sini.

ORANG II  (hanya diam)

ORANG I  
Di sini pengap.

ORANG II (diam)

ORANG I  
Kenapa  kau  jadi  dingin  kepadaku?  Dingin  bagai batu-batu kubur.

ORANG II  
Spermatozoa, indung telur, ovum ....

ORANG I  
Apa yang ada dalam otakmu?

ORANG II  
Ke sanalah larinya.

ORANG I  
Ke mana?

ORANG II  
Ke dalam kata-katamu.

ORANG I  
Malam semakin larut.

ORANG II  
Suara laut tak kedengaran dari sini.

ORANG I    
Iya jauh.

DIAM. HANYA DENGKUR NAFASNYA YANG MENGISI WAKTU. BEBERAPA SAAT LAMANYA

ORANG II  
Mari kita mencari hiburan, kita pergi ke taman-taman.

ORANG I  
Tidak mau.

ORANG II  
Mari kita ke museum.

ORANG I  
Tidak, sudah tutup.

ORANG II 
Kita pergi ke perpustakaan.

ORANG I  
Tidak.

ORANG II  
Kita pergi berenang.

ORANG I  
Tidak.

ORANG II  
Lantas kita?

ORANG I  
Di sini saja.

ORANG II  
Biasanya kau suka melihat perahu, ayo kita pergi ke laut. Seperti  saat  kau  masih  kecil,  kita  akan  menggambar pemandangan  di  pasir.  Kita  akan  mencari  kerang, kemudian  memancing  sambil  naik  perahu. 

(diam  saja)

Ayo  kita  ke  sana,  kita  akan  melihat  pelangi  yang melengkung bagai naga meminum air laut.

ORANG I  
Aku  pernah  mendengar,  suatu  saat  nanti  bulan  akan bertabrakan  dengan  bumi  lantas matahari membakarnya sampai hangus.

ORANG II  
Lupakan saja itu ayo kita pergi ke laut.

ORANG I  
Aku  ingin  tahu  akhir  dari  semua  ini. 

(mereka  melukis)

Sementara  kita  minum,  sementara  maut  mengintai  di tenggorokan  kita.  Sementara  kita  bernafas,  sementara jerat  melingkar  di  leher  kita.  Sementara  kita  bicara, sementara  bisu membeku  di mulut  kita. 

(semakin  cepat dia melukis)

Sementara kita memandang  sementara buta di  kelopak  kita,  sementara  kita  tidur  sementara  maut mengintai di tikar kita, sementara kita sedang, sementara debu,  sementara batu,  sementara kabut,  sementara  lahar, sementara  belerang.  Kalau  mau  mampus,  mampuslah! Kalau  mau  bangkit,  bangkitlah!  Kalau  mau  meledak, meledaklah! Kalau mau terbakar, terbakarlah! Kalau mau hangus,  hanguslah!  Hancur,  hancurlah!  Berkeping, kepinglah!  Porak,  porandalah!  Berdarah,  darahlah! Bernanah,  nanahlah!  Membusuk,  membusuklah!  Satu tambah  satu  sama  dengan  empat  kalau  aku  mau.  Satu tambah  empat  sama  dengan  nol  kalau  aku mau.  Seribu dikurangi  sama  dengan  dua  belas  kalau  aku  mau.  Itu semua  sah!  Itu  semua  benar!  Mau  apa  kau?  Anjing, anjinglah! Babi,  babilah! Geledeklah,  halilintarlah! Kita lukis  wajah  kita.  Hiruk-pikukku,  simpang-siur, berantakan,  porak-poranda,  kita  lukis  kehancuran  kita. Galau  kita,  rindu  kita,  pedih  kita,  sepi-mati  kita.  Kaku batu,  kucing  anjing,  cacing  kelingking,  nungging.  Tua, mata, mandek, mandul, mampet,  dungu,  tersesat,  hutan belantara di mana-mana, belantara angan, belantara tahta, belantara  tanda  tanya.  Akan  kuberi  hidup  dia!  Akan kuberi  kata-kata  dia!  Akan  kuberi  nyawa  dia!  Jadilah! Maka jadilah!

ORANG II  
Apa yang kau lukis?

ORANG I  
Potret diri. Kau?

ORANG II  
Sama.

ORANG I  
Coba  lihat. 

MEREKA  TUKAR-MENUKAR  LUKISAN.  SAMA-SAMA KAGET,  KERENA  YANG  MEREKA  HASILKAN  HANYALAH KANVAS-KANVAS KOSONG

ORANG II  
Ayo kita mulai lagi

MEREKAPUN MELUKIS LAGI

ORANG I  (kelihatan  sangat muak pada dirinya  sendiri)
Aku  tidak ada kemampuan.

ORANG II  
Apa kita perlu ke laut?

ORANG I  
Mari kita coba lagi.

(MEREKA MELUKIS,  KEMUDIAN MEREKA  ROBEK-ROBEK, MEREKA MELUKIS  LAGI, MEREKA ROBEK-ROBEK LAGI, MEREKA MELUKIS LAGI)

ORANG II  (Setelah  mati-matian  berusaha.  Bersama  orang  I) 
Jadi sudah!

ORANG I  
Apa?

ORANG II  
Potret diri, kau?

ORANG I  
Sama.

(MEREKA TUKAR-MENUKAR LUKISAN)

ORANG I  
Ini gambar anjing.

ORANG II  
Ini gambar tikus.

ORANG I  
Apa? Itu Potret diriku.

ORANG II  
Tapi ini gambar tikus.

ORANG I  
Bangsat. Kita telah ditipu. Kau lihat ini gambar anjing.

ORANG II  
Hah?

(MEREKA ROBEK-ROBEK LUKISAN ITU)

ORANG I  
Mari kita temukan diri kita.

(MEREKA MELUKIS LAGI)

ORANG I  
Kenapa jadi asap?

ORANG II  
Kenapa jadi debu?

(DIROBEK-ROBEK LAGI DAN MELUKIS LAGI)

ORANG II  
Kenapa jadi cacing?

ORANG I  
Kenapa jadi bangsat?

(DIROBEK-ROBEK LAGI DAN MELUKIS LAGI)

ORANG I  
Bangsat! Anjing!

(MEROBEK-ROBEK LUKISAN)

ORANG II  
Setan alas!

(MEROBEK-ROBEK LUKISAN. MEREKA MELUKIS LAGI DENGAN KERINGAT YANG BERCUCURAN)

ORANG I   (setelah berjuang)
Jadi sudah! Akhirnya aku bisa.

ORANG II  
Mana?

(Saling Memperlihatkan Lukisan, Sama-Sama Kaget)

Itu diriku.

ORANG I  
Itu  diriku  dan  ini  juga  diriku.  Kau  salah  menafsirkan dirimu sendiri.

ORANG II  
Kau yang  salah  lihat. Sudah  jelas  ini diriku dan  itu  juga diriku.

ORANG I  
Ini wajahku dan itu juga wajahku.

ORANG II  
Tidak! Ini wajahku dan itu juga wajahku.

ORANG I  
Siapa yang benar di antara kita?

ORANG II 
 Kau siapa? Dan aku siapa?

ORANG I  
Kau buta! Yang kau lukis itu diriku.

ORANG II  
Kau  yang  jereng,  sudah  jelas  kau  salah  lukis  dan  salah lihat.

ORANG I  
Aku melukis wajahku sendiri.

ORANG II  
Aku juga

(mereka mengamati lukisan dengan lebih teliti. Mereka kecewa)

ORANG II  
Kita tidak bisa menerjemahkan diri kita sendiri.

ORANG I  
Kenapa ini terjadi.

ORANG II  
Kenapa ini terjadi? Jawablah.

ORANG I  
Jawablah.

ORANG II  
Kenapa ini terjadi? Ayo jawablah.

ORANG I  
Itu pertanyaanku, kau yang harus menjawab.

ORANG II  
Kau yang harus menjawab.

ORANG I  
Itu pertanyaanku.

ORANG II  
Juga pertanyaanku.

ORANG I  
Kau mementingkan diri sendiri.

ORANG II  
Kau yang mementingkan diri sendiri.

ORANG I  
Mari kita hancurkan saja. Kita bunuh.

ORANG II  
Siapa?

ORANG I  
Diri kita.

ORANG II  
Mari.

(MEREKA  SALING  MENCEKIK,  SALING  MEMUKUL.  TAPI  AKHIRNYA,  MEREKA  HANYA MEROBEK-ROBEK LUKISAN)

ORANG II (tertawa)
Kita sudah hancur.

ORANG I  
Kita sudah mati.

SAMA-SAMA TERTAWA

ORANG II  
Enak ya, sudah mati.

ORANG I  
Cuma begini rasanya.

ORANG II  
Coba

(kemudian mencubit orang I)

sakit?

ORANG I  
Kita telah menjadi pembunuh yang sia-sia.

ORANG II  
Sebuah pertanyaan pada dunia.

ORANG I  
Otakku sudah beku.

ORANG II  
Biarkanlah otakmu untuk terus berfikir.

ORANG I  
Takut.

ORANG II  
Akhirnya cepat sampai pada kesimpulan.

ORANG I  
Dan kembali pada keraguan. Ini seperti penyaliban Yesus untuk kedua kalinya.

ORANG II  
Hidup ini penuh dengan rangsangan-rangsangan.

ORANG I  
Kita tidak harus mewujudkan semuanya.

ORANG II  
Ayo kita mencoba lagi.

ORANG I  
Ini adalah saat penentuan. Kita harus mendakwa diri kita.

ORANG II  
Kita hakimi.

ORANG I  
Ayo kita mulai.

DENGAN  PENUH  GAIRAH  MEREKA  MENGAMBIL  KANVASNYA  MASING-MASING  DAN MELUKIS. GAGAL. DIBANTING. DIROBEK-ROBEK. GANTI KANVAS. GAGAL. DIROBEK. GANTI KANVAS. DIROBEK. GAGAL. DIROBEK. MELUKIS  LAGI  DIROBEK  LAGI. GANTI  LAGI.  TERUS DAN TERUS SAMPAI KANVASNYA HABIS, KEMUDIAN MEREKA MELUKIS DI TEMBOK-TEMBOK, BAJU-BAJU YANG BERGANTUNGAN,  LANGIT-LANGIT, MEJA,  LANTAI, KURSI,  SEPATU,  SANDAL,
DEBU, SEMUA BENDA YANG ADA DI SITU DIBUATNYA UNTUK MELUKIS, DIJADIKAN KANVAS SAMPAI HABIS SEMUANYA. MEREKA MELUKIS MEMBABI-BUTA, MEREKA HISTERIS, MEREKA MONDAR-MANDIR, MEREKA BERLARI MENCARI KANVAS, MENCARI OBJEK

ORANG I (bersama orang II)
Mana kanvasku, mana objekku, mana kanvasku,  mana  objekku,  mana  kanvasku,  mana
kanvasku,  objekku,  kanvasku  mana,  objekku  mana, kanvasku mana, objekku mana, mana  ... mana kanvasku ...  mana,  mana  ... 

(mereka  terus  berputar-putar, berlari-lari)

Mana  tali gantungan, aku akan melukis  tali gantungan, mana pisau aku akan melukis di pisau-pisau, mana salib, mana gantungan, mana kanvas, mana kanvas ... gantungan, salib, kanvas, objek...  

(Mereka  terus berputar-putar, gelisah, berlari,  terus. Terus sampai histeris dan sampai akhirnya mereka bertabrakan. Berpelukan,  saling  raba dan  sama-sama berkata:)

Kau adalah kanvasku, kau adalah kanvasku  .... Cat, mana cat  ... mana pahat ... mana gergaji, palu ....

(mereka menjadikan  tubuh yang  lain adalah kanvasnya, mereka saling melukis, saling  mengguyurkan  cat,  saling  pahat-memahat  tubuh  yang  lainnya  sambil terus  berteriak:)

Kau  kanvasku,  kau  objekku,  kau  kanvasku,  kau  objekku,  kau patungku, kau karyaku  ... kau objekku, kau objekku, kau objekku  ....

(terus dan tak ada habisnya)

LAMPU PADAM

#Lakon  ALJABAR  Naskah Karya Zak Sorga #teater #kebudayaan #naskah #dialog







Comments

Popular posts from this blog

Monolog Balada Sumarah Karya Tentrem Lestari

Monolog Balada Sumarah Karya Tentrem Lestari SIANG ITU MATAHARI MEMBARA DI ATAS KEPALA.   DI SEBUAH SIDING PENGADILAN TERHADAP SEORANG PEREMPUAN YANG TERTUDUH TELAH MELAKUKAN PEMBUNUHAN TERHADAP MAJIKANNYA, AKU SEPERTI DIDERA UCAPANNYA.   SEPERTI DILUCUTI HINGGA TANGGAL SELURUH ATRIBUT PAKAIAN BAHKAN KULIT-KULITKU.   PEREMPUAN ITU, BERNAMA SUMARAH, TKW ASAL INDONESIA.   DINGIN DAN BEKU WAJAHNYA.   DAN MELUNCURLAH BAIT-BAIT KATA ITU : Dewan Hakim yang terhormat, sebelumnya perkenankan saya meralat ucapan jaksa, ini bukan pembelaan.   Saya tidak merasa akan melakukan pembelaan terhadap diri saya sendiri, karena ini bukan pembenaran.   Apapun yang akan saya katakana adalah hitam putih diri saya, merah biru abu-abu saya, belang loreng, gelap cahaya diri saya.   Nama saya Sumarah.   Seorang perempuan, seorang TKW, seorang pembunuh, dan seorang pesakitan.   Benar atau salah yang saya katakana menurut apa dan s

Monolog KAUS KAKI BOLONG

Monolog KAUS KAKI BOLONG Karya Hermana HMT PANGGUNG TERASA MAGIS. SUASANA DIBANGUN OLEH BUNYI ALAT MUSIK GESEK YANG DIPADU DENGAN SUARA ORANG-ORANG BERGUMAM. DI TENGAH PANGGUNG TAMPAK SATU SOSOK TUBUH TERBARING KAKU, TERTUTUP KAIN BATIK SEPERTI MAYAT DAN DI BELAKANGNYA BERDIRI SEBUAH KURSI LIPAT. NGIGAU Ini bukan salahku ! Aku tidak tahu menahu soal itu. Sungguh ! Tidak. Tidak! Jangan pandangi aku seperti itu. Aku…aku.. ahhh ! LAKI-LAKI ITU BERDIRI. IA MENATAP KE SEGALA PENJURU, YANG MANA TIAP LIRIKANNYA CUKUP PELAN DAN MENGANDUNG MISTERI Kenapa kalian pandangi aku seperti itu ? Jangan asal, ya ! Memangnya aku ini apa ? Aku bukanlah barang antik yang suka di pajang di etalase-etalase, atau bintang film murahan koliksi para cukong, apalagi doger monyet yang sering ngamen di pasar malam ! Oh, barang kali kalian suka sama aku. Suka, ya ? Heh ! Tidak ? Ah suka. Jangan munafik deh. Tu kan…tu kan suka. MELUDAH Pu

Naskah Monolog B A H A Y A Karya Putu Wijaya

Monolog B A H A Y A Karya Putu Wijaya DUDUK DI KURSI MEMAKAI SELIMUT PUTIH, HABIS CUKUR. CAMBANGNYA MAU DI KEROK.             Ketika tukang cukur menghunus pisau untuk meratakan godek, aku tersentak. Aku baru menyadari bahwa kehidupan berbahaya. Dunia manusia sama buasnya dengan rimba raya. Mengancam. Di mana-mana menganga bahaya. Siapa yang dapat menjamin tukang cukur itu tidak hanya akan merapikan godek dan jenggot kita. Bagaimana kalau dia menorehkan pisah itu ke leherku? BERDIRI, MENGHINDARI BAHAYA. Kita tidak boleh mengambil resiko untuk potong rambut di sembarang tempat. Karena berhubungan dengan tukang potong rambut yang tak dikenal, setiap saat bisa berarti memotong leher. Bahkan dengan tukang cukur yang sudah dikenal pun selalu ada bahaya. Bagaimana kalau pisau yang terhunus di tangannya itu menimbulkan inspirasinya, memanggil kenang-kenangannya kepada perasaan marah, jengk