Skip to main content

Monolog DEMOKRASI karya Putu Wijaya



Monolog
DEMOKRASI
karya Putu Wijaya
(DAPAT DIMAINKAN OLEH LELAKI ATAU PEREMPUAN)
SEORANG WARGA DESA YANG TANAHNYA KENA GUSUR MEMBAWA PLAKAT BERISI TULISAN DEMOKRASI. SETELAH MEMANDANG DAN PENONTON SIAP MENDENGAR, IA BERBICARA LANGSUNG.
Saya mencintai demokrasi. Tapi karena saya rakyat kecil, saya tidak kelihatan sebagai pejuang, apalagi pahlawan. Namun, saya tak pernah masuk koran. Potret saya tak jadi tontonan orang. Saya hanya berjuang di lingkungan RT gang Gugus Depan.
Di RT yang saya pimpin itu, seluruh warga pro demokrasi. Mereka mendukung tanpa syarat pelaksanaan demokrasi. Dengan beringas mereka akan berkoar kalau ada yang anti demokrasi. Dengan gampang saya bisa mengerahkan mereka untuk maju demi mempertahankan demokrasi. Semua kompak kalau sudah membela demokrasi.
MENGACUNGKAN PLAKATNYA.
Demokrasi!
TERDENGAR SERUAN WARGA BERSEMANGAT MENYAMBUT : DEMOKRASI!
Demokrasi!
SERUAN LEBIH HANGAT LAGI :
Demokrasi!
SERUAN GEGAP GEMPITA : DEMOKRASI! IA MENURUNKAN PLAKAT.
Bener kan? Hanya salahnya sedikit, tak seorang pun yang benar-benar mengerti apa arti demokrasi.
MENIRUKAN SALAH SEORANG WARGANYA.
“Pokoknya demokrasi itu bagus. Sesuatu yang layak diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan besar. Sesuatu yang menunjang suksesnya pembangunan menuju ke masyarakat yang adil dan makmur.” Kata mereka.
Saya kira itu sudah cukup. Saya sendiri tak mampu menerangkan apa arti demokrasi. Saya tidak terlatih untuk menjadi juru penerang. Saya khawatir kalau batasan-batasan saya tentang demokrasi disalahgunakan. Apalagi kalau sampai terjadi perbedaan tafsir yang dapat menjadikannya kemudian bertolak belakang. Atau mungkin, karena saya sendiri tidak benar-benar tahu apa arti demokrasi.
Pada suatu kali, RT kami yang membentang sepanjang gang Gugus Depan dapat kunjungan petugas yang mengaku datang dari kelurahan. Pasalnya akan diadakan pelebaran jalan, sehingga setiap rumah akan dicabik dua meter. Petugas itu menghimbau, agar kami, seperti juga warga yang lain, merelakan kehilangan itu, demi kepentingan bersama.
MENIRUKAN PETUGAS.
“Walaupun hanya dua meter, tapi sumbangan saudara-saudara sangat penting artinya bagi pengembangan dan kepentingan kita bersama di masa yang akan datang. Atas nama kemanusiaan kami harap saudara-saudara mengerti.”
NAMPAK BINGUNG.
Warga kami tercengang. Hanya dua meter? Kok enak saja mengambil dua meter, demi pembangunan. Pembangunan siapa? Bagaimana kalau rumah kami hanya enam meter kali empat. Kalau diambil dua meter kali enam, rumah hanya akan cukup untuk gang. Kontan kami tolak. Bagaimana bisa hidup dalam gang dengan rata-rata lima orang anak?
Tidak bisa itu tidak mungkin!
“Tapi ini sudah merupakan keputusan bersama,” kata petugas tersebut.
Kami semakin tercengang saja. Bagaimana mungkin membuat keputusan bersama tentang rumah kami, tanpa rembukan dengan kami. Sepeti raja Nero saja.
“Soalnya masyarakat di sebelah sana,” lanjut petugas itu sambil menunjuk ke kampung di sebelah, “mereka semuanya adalah karyawan yang aktif pabrik tekstil. Semua memerlukan jalan tembus yang bisa dilalui oleh kendaraan. Dengan difungsikannya gang Gugus Depan ini menjadi jalan yang tembus kendaraan bermotor, mobilitas warga yang hendak masuk ke pekerjaan atau pulang lebih cepat. Itu berarti efisiensi dan efektivitas kerja. Mikrolet dan bajaj akan bisa masuk. Itu akan merupakan sumbangan pada pembangunan. Dan pembangunan itu akan dinikmati juga oleh kampung di sebelahnya, karena sudah diperhitungkan masak-masak.”
Diperhitungkan masak-masak bagaimana? Kami tidak pernah ditanya apa-apa? Tanah ini milik kami, bantah saya.
Tak lama kemudian, sejumlah warga dari kiri kanan kami datang. Mereka menghimbau agar kami mengerti persoalan kami. Mereka mengatakan dengan sedikit pengorbanan itu, ratusan kepala keluarga dari kiri kanan kami akan tertolong. Mereka menggambarkannya sebagai perbuatan yang mulia. Setelah menghimbau mereka mengingatkan sekali lagi, betapa pentingnya pelebaran jalan itu. Setelah itu mereka mengisyaratkan betapa tak menolongnya kalau kami tidak menyetujui usul itu. Dan setelah itu mereka mewanti-wanti, kalau tidak bisa dikatakan mengancam.
MENIRUKAN WARGA KAMPUNG SEBELAH.
Kalau saudara-saudara menghambat, menghalang-halangi atau berbuat yang tidak-tidak sehingga pelebaran jalan itu tak dilaksanakan, sesuatu yang buruk akan terjadi.
NAMPAK MAKIN BINGUNG.
Berbuat yang tidak-tidak? Tidak-tidak apa? Kami terjepit di antara kepentingan orang banyak . Belum lagi kami sempat bikin rapat untuk melakukan perundingan, pelebaran jalan itu sudah dilaksanakan.
TERDENGAR SUARA MESIN MENGERAM.
Tanpa minta ijin lagi, sebuah bulldozer muncul dan menggaruk dua meter wilayah RT kami. Warga kami panik. Jangan! Jangan! Ini tanah kami. Sejak nenek-moyang kami sudah di sini. Dulu kakek-kakek kami tanahnya lebar, tiap orang punya tegalan dan dua tiga rumah, tapi semua itu sudah dibagi-bagi anak cucu, ada yang sudah dijual. Tapi ini tanah warisan.
Bulldozer itu tidak peduli. Mereka terus juga menggaruk. Jangan Pak! Jangan! Kalau Bapak ambil dua meter, rumah kami tinggal kandang ayam. Kami tidak mau kampung kami dijadikan jalan. Nanti ke mana anak-anak kami akan berteduh?
Jangan! Jangan Pak! Kita belum selesai berunding! Kami tidak pernah bilang setuju! Diganti berapa pun kami tidak akan mau. Ini harta kami satu-satunya sekarang.
Jangan Pak!
Tapi bulldozer itu terus juga menyeruduk dengan buas. Sopirnya tidak peduli. Dia hanya menjalankan tugas. Akhirnya kami tidak bisa diam saja. Kami semua terpaksa melawan. Saya tidak bisa mencegah warga rame-rame keluar dari rumah. Mereka berdiri di depan bulldozer itu.
Ini tanah kami, akan kami pertahankan mati-matian. Dibeli ratusan juta juga kami tidak sudi, sebab kami tidak mau pindah dari tempat nenek moyang kami. Anak-anak dan perempuan kami pasang di depan, sesudah itu orang-orang tua, lalu saya dan bapak-bapaknya.
Baru bulldozer itu berhenti.
SUARA MESIN BERHENTI. SENYAP..
Sopir yang menjalankan bulldozer itu ngeper juga melihat kami. Dia turun dari kendaraan dan berunding dengan teman-temannya. Kami menunggu apa yang akan terjadi. Lama juga mereka berunding. Beberapa anak main-main mendekati bulldozer itu dan memegang-megangnya. Kendaraan itu kuat, baru, dan bagus. Beberapa ibu-ibu duduk di jalan meneteki anak-anaknya. Saya sendiri mengambil keputusan kencing karena terlalu tegang.
Akhirnya mereka selesai berunding. Sopir itu kembali naik ke atas bulldozernya. Dia tersenyum. Kami merasa lega. Mereka pasti baru menyadari mereka sudah salah. Mesin dihidupkan kembali.
KEMBALI SUARA MENGERAM.
Kami menunggu dengan deg-degan. Waktu itu sebuah mobil colt datang. Sekitar sepuluh orang laki-laki meloncat turun dengan memakai pakaian seragam. Kami besorak, melihat akhirnya aparat datang untuk melindungi rakyat. Tapi berbareng dengan itu bulldozer itu menerjang kembali ke depan menggaruk tanah. Perempuan-perempuan itu menjerit. Beberapa anak jatuh, salah seorang diantaranya kena garuk. Untung ada yang meloncat naik dan menarik anak itu. Keadaan jadi kacau.
Orang-orang berseragam itu berlarian datang. Ternyata mereka bukan petugas, tetapi satpam yang mau mengamankan penggarukan. Mereka membawa pentungan yang sudah siap untuk memukul. Kami seperti kucing yang kepepet. Tanpa diberi komando lagi, kami melawan.
Anak-anak mengambil batu dan melempar. Asep, bapak anak yang hampir kena garuk bulldozer itu meloncat ke atas bulldozer, mau menarik sopirnya. Tapi tiba-tiba sopir bulldozer itu menghunus parang yang disembunyikannya di bawah tempat duduk, langsung membacok pundak Asep.
Asep tumbang berlurumuran darah. Perempuan-perempuan dan anak-anak menjerit, lalu kabur menyelamatkan diri. Kami para lelaki hampir saja mau meyerang, tapi kemudian sebuah truk datang. Puluhan orang yang kelihatan ganas-ganas melompat turun dan menerjang kami sambil membawa senjata tajam. Saya kenal salah satu di antaranya bajingan di Proyek Senen.
Kami terpaksa mundur. Saya melarikan Asep ke rumah sakit. Untung saja tidak lewat. Barangkali pembacoknya memang tidak berniat membunuh, hanya kasih peringatan.
MELETAKKAN PLAKAT. LALU MEMBUKA PAKAIANNYA, SALIN.
Saya bingung. Akhirnya setelah putar otak, saya beranikan diri mengunjungi pabrik tekstil, majikan warga yang menginginkan jalan pintas itu. Saya memakai batik (kebaya dan jarik kalau pemainnya perempuan) supaya kelihatan resmi dan sedikit dipandang.
MEMAKAI BATIK/JARIK.
Tapi susah sekali. Orangnya selalu tidak di tempat. Baru setelah mengaku petugas kelurahan, akhirnya saya diterima.
Direktur itu kaget setelah mengetahui saya bukan petugas tapi korban penggusuran. Tetapi ia cepat tersenyum ramah, lalu mengguncang tangan saya. Begitu saya semprot bahwa kami tak sudi dipangkas, dia bingung. Kepalanya geleng-geleng seperti tak percaya. Lalu ia memanggil sekretaris. Setelah berunding bisik-bisik, ia kembali memandangi saya seperti orang stress.
MENIRUKAN DIREKTUR PABRIK TEKSTIL YANG DIALEKNYA RADA CADEL/ASING.
“Tuhan Maha Besar, saya tidak tahu ini. Saya minta maaf. Saya tidak memperbolehkan siapa saja membuat tindakan-tindakan pribadi atas nama perusahaan. Para karyawan sudah diberi uang transport. Kalau mereka perlu jalan pintas, mungkin karena ingin menyelamatkan uang transport itu. Itu di luar tanggung jawab perusahaan. Pembuatan jalan itu bukan tanggung jawab kami. Saya minta maaf. Saya mohon anda menyampaikan rasa maaf saya kepada seluruh warga,” katanya dengan sungguh-sungguh.
Saya mulai senewen. Saya tak percaya apa yang dikatakannya. Ini sandiwara apa lagi. Saya bukan orang bodoh, saya tidak mau dikibulin mentah-mentah begitu. Saya tahu dia hanya pura-pura. Mulutnya yang manis, tingkah lakunya yang sopan itu tidak bisa mengelabui saya. Saya bisa mengendus apa yang disembunyikannya di balik topengnya itu. Orang kaya raya begitu, berpendidikan tinggi, luas pandangannya, pasti tahu apa sebenarnya yang terjadi. Tidak mungkin dia tidak paham apa artinya dua meter tanah buat kami, meskipun bagi dia 200 hektar itu hanya seperti upil. Orang yang pasti sudah bolak-balik ke luar negeri itu masa tidak tahu, kami, paling sedikit saya ini tahu, bukannya para karyawannya itu yang serakah mau menyelamatkan uang makan, tapi dia sendiri yang memang mau mencaplok pemukiman kami. Nanti lihat saja, kalau jalan sudah dibuat, uang makan akan distop, karyawannya akan disuruh jalan kaki datang. Tai kucing, Rai gedek! Sudah konglomerat begitu, menyelamatkan uang receh saja pakai menyembelih rakyat.
Aku tahu! Aku tahu! Kasih tahu warga semuanya apa yang sudah terjadi. Aku adukan nanti kepada Jaksa Agung! Beliau itu dulu waktu masih miskin sering mampir di warung saya! Biar orang semacam ini ditindak. Asu! (MENYUMPAH-NYUMPAH KOTOR DALAM BAHASA DAERAH)
DIA MENYABARKAN DIRINYA, KARENA KATA-KATANYA SEPERTI SUDAH TAK TERKENDALI.
Betul. Orang kecil seperti saya ini memang kelihatannya lemah dan gampang ditipu. Karena kami sadar pada diri kami sehingga kami selalu menahan diri. Tapi kalau sudah kebangetan seperti ini, saya meledak juga. Semut pun kalau diinjak terus akan menggigit.
Karena terlalu marah, saya tidak bisa ngomong lagi. Muka saya saja yang kelihatan merah. Dia mengerti. Saya siap untuk meledak. Dia semakin marah, semakin halus bicaranya. Saya diperlakukan sebagai tamu terhormat. Tapi saya terus maju. Ini perjuangan.
Dia menyuguhkan makanan dan minuman. Saya tolak. Saya datang bukan untuk bertamu atau ramah-tamah. Saya membawa suara rakyat, menuntut keadilan. Keadilan untuk kami saja.
Kami tidak minta apa-apa, kami hanya minta tanah kami yang dua meter itu jangan diganggu. Itu hak kami! Titik.
Di atas meja dihidangkan kue-kue yang lezat. Hhhh! Tapi saya tidak sudi menjamah, Sebelum tuntutan kami didengarkan. Dia mencoba bertanya tentang keluarga saya, anak saya kelas berapa. Ah, itu kuno. Saya tahu itu taktik untuk memancing pengertian.
Dia juga berbasa-basi menanyakan bagaimana keadaan Asep. Lho saya jadi tambah curiga. Jadi dia tahu sekali apa yang terjadi. Mungkin dia yang menyuruh sopir itu membacok Asep, karena Asep juga pernah memprotes pembungan limbah dari pabrik yang mengalir ke selokan di depan rumah kami.
Saya bertekad, saya tidak akan pergi dari kantor itu sebelum ada keputusan membatalkan perampokan dua meter tanah kami untuk jalan. Saya ditunggu oleh warga.
Saya hanya mau pergi kalau ada keputusan yang menguntungkan rakyat kecil!
Akhirnya dia mengangguk, tanda dia mengerti. Kemudian dia menunduk dan membuka laci mejanya mengambil kertas. Saya bersorak dalam hati. Akhirnya memang kunci segala-galanya pada kegigihan. Kalau kita getol berjuang pasti akan berhasil.
Tetapi kemudian darah saya tersirap, karena direktur itu mengulurkan kepada saya sebuah amplop coklat yang tebal. Saya langsung tak mampu bernapas.
DARI ATAS JATUH SEBUAH AMPLOP RAKSASA BERISI TULISAN RP. 250.000.000. DUA RATUS LIMA PULUH JUTA RUPIAH. TULISAN MELAYANG SETINGGI DADA DI DEPANNYA. IA GEMETAR.
Tebal, coklat, apalagi di tas amplop itu tertera 250.000.000. Dua ratus lima puluh juta. Ya Tuhan banyaknya. Saya belum pernah memegang uang sebanyak ini. Dua ratus lima puluh juta?
MENGHAMPIRI AMPLOP. MENYENTUH DENGAN GEMETAR, TAK PERCAYA, RAGU-RAGU, GEMBIRA, KEMUDIAN MEMEGANGNYA.
Dua ratus lima puluh juta. Dua ratus lima puluh kali hidup lagi juga saya tidak akan sanggup mengumpulkan uang sebanyak ini. Ya Tuhan, alangkah miskinnya saya. Mengapa tiba-tiba saya dihujani rizki sebanyak ini.
MEMELUK AMPLOP ITU. MENGANGKATNYA. MENJUNJUNGNYA. MEMBAWANYA KE SANA KEMARI. KEMUDIAN MENGEKEPNYA. LALU MENARIKNYA KE BAWAH. MEMELUKNYA. SEPERTI KUCING YANG BERMAIN-MAIN DI ATAS KERTAS, IA TERLENTANG, TENGKUREP DI ATAS UANG ITU SAMBIL MENCIUM-CIUMNYA. KEMUDIAN IA MASUK KE DALAM AMPLOP, SEPERTI ANJING YANG MENGOREK-OREK TONG SAMPAH DENGAN BERNAFSU DAN NGOS-NGOSAN. AKHIRNYA IA MENGGULUNG DIRINYA DENGAN AMPLOP UANG ITU.
Dua ratus lima puluh juta. Apa yang tidak bisa dibeli dengan uang sebanyak itu. Alhamdulillah! Saya bisa perbaiki rumah, kredit motor, jadi tukang ojek, bayar SPP. Saya bisa kirim uang sama orang tua.
Puji syukur Tuhan, akhirnya Kau kabulkan doa kami setiap malam, supaya bisa mengubah nasib, jangan terus terjepit di tempat kumuh ini seperti kecoa.
MENGANGIS KARENA GEMBIRA DAN TIDAK PERCAYA. KEMUDIAN DIA BERDIRI KEMBALI DAN MEMELUK AMPLOP BESAR ITU, SAMA SEKALI TAK MAMPU MELEPASKANNYA.
Saya gemetar. Saya tak menanyakan lagi berapa isi amplop itu. Untuk apa 250 juta itu. Saya tidak perlu lagi menanyakannya. Saya hanya menerimanya, lalu menyambut uluran tangannya. Lantas terbirit-birit pulang. Takut kalau amplop itu ditarik lagi. Saya ambil jalan belakang, sehingga tak seorang warga pun tahu saya barusan datang dari rumah direktur.
Saya kumpulkan keluarga saya dan menjelaskan kepada mereka, bahwa sejak hari itu hidup kami akan berubah. Doa kita sudah dikabulkan.
MELEPASKAN KEMBALI AMPLOP. AMPLOP BESAR NAIK KEMBALI, MELAYANG DI ATAS KEPALANYA.
Esok harinya, ketika para warga gang Gugus Depan kembali mendatangi saya untuk mendengarkan hasil rembukan saya dengan Pak Direktur untuk selanjutnya menetapkan tindakan apa selanjutnya yang harus dilakukan, saya memberi wejangan.
Saudara-saudara warga semuanya yang saya cintai. Memang berat kehilangan dua meter dari milik kita yang sedikit. Berat sekali. Bahkan terlalu berat. Tetapi itu jauh lebih baik daripada kita kehilangan nyawa. Lagipula semua itu untuk kepentingan bersama. Kita semua mendukung demokrasi dan sudah bertekad untuk mengorbankan apa saja demi tegaknya demokrasi. Di dalam demokrasi suara terbanyak yang harus menang. Maka sebagai pembela demokrasi, kita tidak boleh dongkol karena kalah. Itu konsekuensinya mencintai demokrasi. Demi demokrasi, kita harus merelakan dua meter untuk pembuatan jalan yang menunjang pembangunan ini. Demi masa depan kita yang lebih baik.
Seluruh warga yang saya pimpin tak menjawab. Seperti saya katakan, mereka semuanya pembela demokrasi. Kalau atas nama demokrasi, mereka relakan segala-galanya. Satu per satu kemudian mereka pulang.
Hei tunggu dulu, saya belum selesai berbicara!
Kuping mereka buntet. Tanpa peduli rapat belum rampung, semuanya pergi.
Tunggu! Tunggu!
Tak ada yang menggubris. Semuanya ngacir. Tinggal saya sendiri dan seorang tua. Tapi dia tidak pergi karena suka tapi karena kakinya semutan. Setelah reda dia juga berdiri dan pergi sambil ngedumel.
“Kalau memang demokrasi itu tidak melindungi kepentingan rakyat kecil, aku berhenti menyokong demokrasi. Sekarang aku menentang demokrasi!”
TERDENGAR SUARA SORAK DAN YEL-YEL YANG TIDAK JELAS. SEPERTI ADA KERIBUTAN. LALU SUARA TEMBAKAN. BARU SEPI KEMBALI.
Sejak saat itu semuanya benci kepada demokrasi. Sejak hari itu, warga RT Gugus Depan yang saya pimpin kompak menolak demokrasi. Hanya tinggal saya sendiri, yang tetap berdiri di sini. Teguh dan tegar. Tidak goyah oleh topan badai. Tidak gentar oleh panas dan hujan. Saya tetap kukuh tegak di atas kaki saya, apa pun yang terjadi siap mempertahankan demokrasi, sampai titik darah penghabisan.
Habis mau apa lagi? Siapa lagi kalau bukan saya? Daripada diberikan kepada orang lain?
DENGAN SUARA YANG GEMURUH AMPLOP BESAR ITU JATUH MENIMPA, DIIKUTI OLEH BANYAK AMPLOP LAINNYA YANG LEBIH BESAR, SEHINGGA IA JATUH DAN TERTIMBUN OLEH AMPLOP.

LAMPU MEREDUP DAN PADAM. SELESAI.

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Balada Sumarah Karya Tentrem Lestari

Monolog Balada Sumarah Karya Tentrem Lestari SIANG ITU MATAHARI MEMBARA DI ATAS KEPALA.   DI SEBUAH SIDING PENGADILAN TERHADAP SEORANG PEREMPUAN YANG TERTUDUH TELAH MELAKUKAN PEMBUNUHAN TERHADAP MAJIKANNYA, AKU SEPERTI DIDERA UCAPANNYA.   SEPERTI DILUCUTI HINGGA TANGGAL SELURUH ATRIBUT PAKAIAN BAHKAN KULIT-KULITKU.   PEREMPUAN ITU, BERNAMA SUMARAH, TKW ASAL INDONESIA.   DINGIN DAN BEKU WAJAHNYA.   DAN MELUNCURLAH BAIT-BAIT KATA ITU : Dewan Hakim yang terhormat, sebelumnya perkenankan saya meralat ucapan jaksa, ini bukan pembelaan.   Saya tidak merasa akan melakukan pembelaan terhadap diri saya sendiri, karena ini bukan pembenaran.   Apapun yang akan saya katakana adalah hitam putih diri saya, merah biru abu-abu saya, belang loreng, gelap cahaya diri saya.   Nama saya Sumarah.   Seorang perempuan, seorang TKW, seorang pembunuh, dan seorang pesakitan.   Benar atau salah yang saya katakana menurut apa dan s

Monolog KAUS KAKI BOLONG

Monolog KAUS KAKI BOLONG Karya Hermana HMT PANGGUNG TERASA MAGIS. SUASANA DIBANGUN OLEH BUNYI ALAT MUSIK GESEK YANG DIPADU DENGAN SUARA ORANG-ORANG BERGUMAM. DI TENGAH PANGGUNG TAMPAK SATU SOSOK TUBUH TERBARING KAKU, TERTUTUP KAIN BATIK SEPERTI MAYAT DAN DI BELAKANGNYA BERDIRI SEBUAH KURSI LIPAT. NGIGAU Ini bukan salahku ! Aku tidak tahu menahu soal itu. Sungguh ! Tidak. Tidak! Jangan pandangi aku seperti itu. Aku…aku.. ahhh ! LAKI-LAKI ITU BERDIRI. IA MENATAP KE SEGALA PENJURU, YANG MANA TIAP LIRIKANNYA CUKUP PELAN DAN MENGANDUNG MISTERI Kenapa kalian pandangi aku seperti itu ? Jangan asal, ya ! Memangnya aku ini apa ? Aku bukanlah barang antik yang suka di pajang di etalase-etalase, atau bintang film murahan koliksi para cukong, apalagi doger monyet yang sering ngamen di pasar malam ! Oh, barang kali kalian suka sama aku. Suka, ya ? Heh ! Tidak ? Ah suka. Jangan munafik deh. Tu kan…tu kan suka. MELUDAH Pu

Naskah Monolog B A H A Y A Karya Putu Wijaya

Monolog B A H A Y A Karya Putu Wijaya DUDUK DI KURSI MEMAKAI SELIMUT PUTIH, HABIS CUKUR. CAMBANGNYA MAU DI KEROK.             Ketika tukang cukur menghunus pisau untuk meratakan godek, aku tersentak. Aku baru menyadari bahwa kehidupan berbahaya. Dunia manusia sama buasnya dengan rimba raya. Mengancam. Di mana-mana menganga bahaya. Siapa yang dapat menjamin tukang cukur itu tidak hanya akan merapikan godek dan jenggot kita. Bagaimana kalau dia menorehkan pisah itu ke leherku? BERDIRI, MENGHINDARI BAHAYA. Kita tidak boleh mengambil resiko untuk potong rambut di sembarang tempat. Karena berhubungan dengan tukang potong rambut yang tak dikenal, setiap saat bisa berarti memotong leher. Bahkan dengan tukang cukur yang sudah dikenal pun selalu ada bahaya. Bagaimana kalau pisau yang terhunus di tangannya itu menimbulkan inspirasinya, memanggil kenang-kenangannya kepada perasaan marah, jengk