Monolog
KEMERDEKAAN
Karya Putu Wijaya
Seorang juragan perkutut yang
sudah sangat tua, ingin memberi hadiah kepada burungnya. Ia mendekati sangkar
peliharaannya itu, lalu berkata:
“Burung perkututku yang setia.
Setiap hari kau sudah memperdengarkan suaramu yang merdu, sehingga hari-hariku
yang buruk menjadi indah. Bertahun-tahun kau mengubah dunia yang busuk ini
menjadi nyaman, sehingga kegembiraanku tak pernah hilang. Hidup menjadi menyenangkan,
semangatku untuk melawan nasib berkobar, sehingga usiaku panjang, jiwaku penuh
dan kesehatanku tak pernah mundur. Untuk segala jasa-jasamu itu, hari ini
kuberikan kamu sebuah hadiah yang sangat
istimewa namanya: kemerdekaan.”
Juragan itu membuka pintu sangkar
burung perkututnya, lalu menunjuk ke udara.
“Lihatlah langit biru. Ke sanalah
matamu harus memandang. Itulah kemerdekaan yang dicita-citakan oleh setiap
orang. Itulah yang sudah dinyanyikan oleh para pemimpin yang berteriak-teriak
di atas podium. Itulah yang sudah diserukan dengan yel-yel yang dahsyat di
sepanjang jalan oleh para mahasiswa di dalam demo. Itulah yang tertulis dalam
lirik-lirik lagu para penyanyi rock yang memuja kebebasan. Ke sanalah kamu
harus pergi sekarang!”
“Kepakkan sayapmu burungku,
terbanglah ke udara, nikmati kebebasan yang kini sudah menjadi milikmu.
Melayanglah tinggi ke udara, gantungkan
cita-citamu setinggi langit, seperti yang pernah dikoar-koarkan oleh Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno!”
Burung perkutut di dalam
sangkar itu terkejut. Matanya melotot. Ia mundur mendengar suara majikannya,
seakan-akan ia tidak percaya.
“Ha-ha-ha, kenapa kamu
bingung? Tidak percaya kemerdekaan itu sekarang menjadi milikmu? Goblok!
Kemerdekaan adalah hak setiap orang. Itu karunia Tuhan yang sudah dirampas oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yang sudah terlepas karena kamu tidak
awas. Sekarang sudah menjadi milikmu kembali. Jangan ragu-ragu, ambil dan
terbang, sebelum awan-awan datang dan merebut biru langit yang menakjubkan itu.
Ayo terbang!”
Tapi sebaliknya dari terbang,
perkutut itu mundur lagi, sehingga ekornya menyentuh jeruji sangkar. Badannya
gemetar. Beberapa helai bulunya berjatuhan.
“Astaga! Kenapa kamu? Sakit?!”
tanya juragan itu kecewa, “Kenapa kamu ketakutan? Harusnya kamu berteriak
gembira karena bahagia. Kemerdekaan yang sudah diperjuangkan dengan nyawa dan
darah oleh setiap bangsa di seluruh dunia, kini aku hadiahkan kepadamu dengan
percuma. Revolusi dikobarkan selama puluhan tahun dan mengalirkan sungai darah
yang memilukan Ibu Pertiwi karena putra-putra bangsa yang masih belia sudah
terkapar tidak berdaya, tetapi bangsa yang ingin bebas dari pejajahan terus
saja berjuang, sampai kemerdekaan itu menjadi kenyataan. Banyak yang sampai
sekarang masih bertempur bersimbah darah karena perjuangan mereka gagal, kenapa
kamu yang aku berikan kemerdekaan dengan cuma-cuma menolak? Ayo jangan bodoh,
kepakkan sayapmu, terbang, sebelum aku berubah pikiran!”
Burung dalam sangkar itu
bertambah ketakutan. Ia sampai kentut dan terkencingh-kencing tak mampu menahan
tikaman emosinya.
“Gila!” teriak orang tua itu
mulai tak sabar, “dasar binatang, tidak mengerti arti kebaikan. Ayo terbang,
nikmati kemerdekaanmu yang aku hadiahkan! Terbang sekarang sebelum mubazir!”
Tiba-tiba burung perkutut itu
berbicara. (Di dalam cerita ini burung memang bisa bicara seperti di zaman Nabi
Sulaiman. Burung-burung perkutut di Indonesis semuanya bisa ngoceh terutama
yang laki-laki)
“Tuan, jangan berikan
kemerdekaan itu kepada saya. Jangan, Tuan, saya takut.”
“Takut? Kenapa takut?”
“Sebab kalau saya keluar
sekarang, dalam waktu tidak lebih dari tiga hari saya akan mati, Tuan.”
“Bukan mati goblok! Kamu
merdeka!”
“Itu dia, Tuan. Setiap hari Tuan memberikan saya makan dan minum. Hidup saya
aman dan sejahtera di dalam
sangkar ini. Kalau saya harus keluar sekarang, saya tidak tahu bagaimana
caranya mencari makan dan minum sendiri. Tak sampai tiga hari saya akan mati,
Tuan. Jangan, jangan berikan saya kemerdekaan, saya tidak mau mati!”
“Edhan, dasar binatang, otakmu
hanya segede upil!” umpat orang tua itu, “kemerdekaan itu bukan akhir dari
kehidupan. Kemerdekaan adalah langkah pertama untuk menuju kebebasan. Dan
kebebasan akan mengantarkan kamu kepada dunia luas yang kamu pilih. Langit biru
itu akan mengantarkan kamu ke surga. Kamu tidak perlu mati untuk pergi ke
surga, kamu hanya perlu pentangkan sayapmu dan terbang. Ayo terbang sekarang
mumpung langit terang benderang!”
Juragan tua itu membuka pintu
sangkar burungnya lebih lebar.
“Terbang!”
“Tidak Tuan, jangan. Biar saya
tinggal di dalam sangkar saja!”
“Kenapa?”
“Sebab kalau saya keluar
sekarang meong garong yang setiap hari sudah menunggu-nunggu kesempatan itu
akan menerkam saya. Dia akan menyergap saya dengan cakarnya. Dalam waktu satu
hari saya tidak lagi akan bisa melihat langit biru, karena saya sudah berkubur
di dalam perut kucing. Jangan, jangan merdekaaan saya. Saya mohon, jangan!
Lebih baik hidup di dalam sangkar daripada koit sia-sia di dalam perut kucing!”
“Tolol! Kemerdekaan itu tidak
menyekap tapi justru membuat kamu bebas tanpa batas untuk melakukan apa saja
yang ingin kamu tuntaskan. Dunia milik kamu sekarang. Jangan sia-siakan
kesempatan. Terbang! Terbang!”
“Tidak, jangan Tuan! Jangan!
Kalau saya merdeka sekarang, saya akan menjadi tanpa perlindungan. Para pemburu
akan mengambil senapan dan menembak. Dor, dor, dor. Tidak akan lebih dari satu
jam saya akan jatuh dari langit dalam keadaan yang sudah tak bernyawa lagi. O
tidak, saya tidak mau mati sekarang, saya tidak mau merdeka, saya mau hidup.
Jangan, jangan berikan kemerdekaan, jangan Tuan! Saya mohon izinkan saya tidak
merdeka!”
Orang tua itu tercengang.
Darah tingginya meluap. Mukanya mendadak merah karena hadiahnya ditolak.
“Bangsat! Hadiah yang tidak
ada taranya ini kamu tolak? Aku tersinggung! Pemberian yang diberikan dengan
tulus ini kamu hinakan? Aku jadi kalap. Kebodohan itu sudah mengerak di batok
kepalamu. Hanya kekerasan yang dapat memaksa orang-orang tolol untuk melihat
realita. Kalau kamu menolak merdeka itu menghina kebaikanku. Kalau kamu tidak
mau merdeka, aku akan belajarkan, aku akan paksa, kalau perlu aku akan bunuh
kamu, supatya kamu hidup! Hanya jiwa yang mati yang tidak mengerti arti
kemerdekaan!”
Dengan gelapan juragan tua itu mengambil sampu lalu
mengangkatnya.
“Keluar! Kalau kamu tidak mau
keluar aku akan paksa kamu keluar. Keluar! Ayo terbang!”
Orang tua itu memukul-mukul
sangkar itu dengan sapu.
“Keluar! Keluar!”
Burung perkutut itu ketakutan.
Ia terberak-berak karena panik.
“Keluar!”
Tiba-tiba perkutut itu
mengepakkan sayapnya lalu terbang. Tetapi dia tidak terbang keluar dari
sangkar. Ia terbang menubrukkan kepalanya ke sangkar, lalu jatuh dan tidak
bergerak lagi.
“Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk. Kur
ketekuk-kuk-kuk-kuk!” bunyi perkutut-perkutut lain milik orang tua itu,
seakan-akan memberikan selamat jalan kepada kawannya yang malang, yang telah
pergi mendahului ke alam baka.
Orang tua itu tertegun. Ia
menatap perkututnya yang terbaring tak bergerak.
“Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk!”
“Ya Tuhan,”bisik orang tua itu
dengan suara penuh sesal, “hari ini Kau berikan aku sebuah pelajaran yang
sangat berharga. Baru hari ini aku sadari, kemerdekaan tidak selamanya
memberikan kebahagiaan. Hari ini Kau tunjukkan kepadaku, kemerdekaan dapat
membunuh, kalau yang diberikan kemerdekaan tidak siap. Ya Tuhan, terimakasih
atas KaruiniaMu ini. Lain kali, kalau pada waktunya nanti aku akan memberikan
hadiah kemerkedaan kepada burung-burungku yang lain, aku tidak mau lagi akan
terjadi tragedi seperti ini. Hari ini Kau belajarkan aku bagaimana harus
memberi kemerdekaan.”
Lalu orang tua itu memandang
ke semua sangkar perkututnya.
“Burung-burung perkututku,
kalau nanti pada waktunya aku memberikan kamu hadiah kemerdekaan, aku tidak mau
nasibmu akan sama dengan kawanmu yang tolol ini. Ternyata kemerdekaan
memerlukan persiapan, sebab kalau tidak siap merdeka, kemerdekaan itu bukan
membebaskan tetapi membunuh. Karena itu, aku akan memberi kamu latihan,
bagaimana caranya menikmati kemerdekaan perlahan-lahan, sehingga pada waktu
kemerdekaan itu nanti kuberikan, kamu sudah siap semuanya menikmati merdeka.”
Juragan tua itu lalu membuka
semua pintu sangkar burung perkututnya.
“Lihat ke atas, itulah langit
biru,”kata orang tua itu memberikan pembelajaran. “Itulah kemerdekaan. Ke
sanalah kamu harus memandang, ke situlah kamu harus terbang. Itulah kebagiaan,
itulah yang harus kami jadikan tujuan. Pandang baik-baik. Belajar menikmati
keindahannya, sehingga nanti kamu akan terbiasa untuk merdeka.
“Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk!”
“Ya nyanyikan, rindukan,
rasakan langit biru, itulah masa depanmu, itulah surgamu!”
Tiba-tiba ratusan, ribuan,
puluhan ribu, jutaan, duaratus limapuluh juta burung perkutut yang
memandang ke langit biru mengepakkan sayapnya, lalu terbang. Melesat terbang
keluar dari pintu sangkar, termasuk burung perkutut yang tadi pura-pura mati
itu.
“Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk!”
Duaratus limapuluh juta burung
perkutut terbang bersama-sama ke atas langit biru.
“Kurketuk-kuk-kuk-kuk! Inilah
kemerdekaan yang kami rindukan. Bukan kemerdekaan sendiri-sendiri yang
diberikan dengan gratis karena belas kasihan. Tapi kemerdekaan yang kami rengut
dengan mengorbankan jiwa-raga. Kalau perlu dengan paksa lewat pertumpahan darah.
Kemerdekaan bersama-sama, satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Kur
ketekuk-kuk-kuk-kuk!”
Burung-burung itu terbang
berputar-putar semakin tinggi, semakin tinggi.
“Kur ketekuk-kuk-kuk-kuk.”
Tiba-tiba mereka berhenti, lalu
melihat ke bawah dan kemudian croooooot berak bersama-sama.
Duaratus-lima-puluh-juta tai burung perkutut melayang-layang ke bawah dan
kemudian tepat mengenai kepala juragan tua itu, yang sampai sekarang tidak
pernah mengerti apa sebenarnya yang sudah terjadi. Yang sampai meninggalnya
tidak pernah peduli apa sebenarnya yang dikehendaki oleh rakyatnya.
Jakarta 1995 - 2008
#teater # naskah # monolog # indonesia # kebudayaan
Comments