Monolog
DORR
Karya Putu Wijaya
MONOLOG
INI DIUCAPKAN, SEJAK PETUGAS ITU MEMBUKA HANDUK YANG DISARUNGKAN DI PINGGANGNYA
HABIS MANDI. IA LALU MENGENAKAN CELANA DALAM. DISUSUL DENGAN CELANA PENDEK. DAN
KEMUDIAN SEGALA PERNIK-PERNIKNYA. SAMPAI KEMUDIAN IA MEMAKAI SERAGAM LENGKAP.
SERTA MEMBERSIHKAN SENJATANYA
Seperti
setiap orang Indonesia saya punya cita-cita. Seperti yang dianjurkan oleh Bung
Karno, saya gantungkan cita-cita setinggi langit. Saya panggil dalam mimpi.
Gunjingkan dalam setiap kali ada kesempatan. Dan kemudian tentu saja kejar.
Kejar sampai babak-belur, jatuh bangun, nafas tercekik. Untuk kemudian berdiri
di batas segala usaha. Tapi apa lacur, tangan saya tak memegang apa-apa. Bahkan
menyentuhnya pun tak sempat.
Seperti
kebanyakan orang Indonesia, saya tertegun. Bingung di pinggir kali besar, deras
dan terjal, yang tak memiliki jembatan. Tak punya alat penyebrangan. Sementara
saya tak punya keberanian untuk meloncat untung-untungan agar tiba di seberang.
Karena tenaga saya terbatas. Karena saya tidak percaya saya akan mampu. Dan
karena saya tidak bisa berenang.
Matahari
semakin sore. Malam yang pekat, telah terbit di kaki langit. Gumpalan awan
hitam telah bergulung dari horison hendak menghitamkan seluruh cakrawala. Waktu
saya amat terbatas. Lalu seperti kebanyakan orang Indonesia yang lain, saya
membuat keputusan yang tidak saya sukai. Saya angkat tangan dan melambai kepada
cita-cita yang tak mampu saya wujudkan itu, bersama puluhan juta orang lain.
Menyerah tidak selamanya berarti kalah meskipun memang kalah.
Air
mata saya lepas dari kelopak sambung-menyambung seperti kerikil. Kaki saya
dihajarnya dengan keras. Sedangkan di dalam hati saya membuka luka yang membuat
saya amat malu. Karena cita-cita saya pernah melambung begitu tingginya,
sehingga tempat saya berdiri sekarang terasa begitu konyol. Kalau saja saya
tidak sejauh itu dulu terbang, mungkin sekali sekarang saya masih memiliki
harga diri.
Dengan
perasaan kalah, bersama orang-orang Indonesia yang lain, saya berbalik. Pulang
kembali ke rumah saya yang terasa amat kosong, miskin dan hina. Mata saya
tutupkan, hati saya bikin bebal. Hidup terasa sudah berakhir, walaupun saya
mesti melanjutkannya. Lalu dalam keadaan yang tidak berdaya itu, saya serahkan
diri saya pada budaya pasrah. Menerima segala yang sampai. Mengulum apa yang
tersisa. Dan berhenti untuk berharap akan sampai pada puncak. Bagai kepingan daun
yang rontok dari dahan, saya ikuti aliran sungai. Menyerah kepada nasib yang
lebih pintar dari yang pernah saya duga. Saya tidak berpikir lagi untuk diri
saya sendiri.
Apa
boleh buat. Saya menjadi petugas keamanan. Memakai pakaian seragam. Membawa
tugas-tugas yang tidak boleh dipertanyakan. Melaksanakan seluruh kebijaksanaan
yang sudah digariskan. Menjadi seekor anjing pengawal yang harus menggonggong
apa saja yang merongrong. Dan memegang sebuah senjata kosong, untuk mengamankan
seluruh tugas-tugas tersebut. Karena saya tidak boleh menembak. Saya tidak
boleh membunuh. Kecuali mengancam untuk menakut-nakuti.
Rasa
kecewa tak penting lagi. Merasa gagal juga tidak diperlukan lagi. Hidup adalah
menyambung hari ke hari menjadi tahun-tahun usia. Lalu saya temukan seorang
wanita yang masih sanggup untuk menerima seluruh takdir saya sebagai
kebanggaan. Ia memandang daya dengan sinar mata yang lembut. Ia menjadi sebuah
bulan dalam malam-malam saya yang kering. Di tengah dering jengkrik yang
menemani saya bertugas setiap malam, ia selalu rajin menitipkan rantang
makanan. Diberikanya saya kesadaran bahwa cita-cita tak selalu harus dicapai.
Segala yang di awang-awang memang bukan hanya untuk dicapai, tetapi juga
bermanfaat untuk disawang. Ditonton. Dinikmati. Dikagumi dan dirindukan.
Wanita
yang kemudian menjadi istri dan ibu anak saya itu, memberikan saya rumah tempat
pulang. Dari seorang anak yang hilang, saya ngeloyor kembali menjadi anggota
keluarga. Kaki saya berpijak ke tanah. Rasanya saya hidup sekali lagi, meskipun
tanpa cita-cita. Saya ingin membalas segala jerih-payahnya yang telah
menyadarkan saya pada kenyataan. Bahwa di dalam kehidupan ini, sementara
jutaan, ratusan juta manusia berebutan, mungkin hanya satu dua orang yang
terpilih untuk berhasil. Dan saya mesti merelakan bahwa pilihan itu bukan saya.
Kenapa tidak, karena berjuta-juta orang lain juga sudah merelakannya.
Tetapi
ketika anak saya lahir, harapan itu muncul lagi. Kata orang anak menjadi
perpajangan usia kita. Dengan anak, kita seperti memiliki sebuah galah, untuk
menjangkau buah ranum atau bunga kamboja yang ingin kita petik. Dengan anak,
tangan kita seperti tumbuh lagi. Nyawa kita pun ditarik menjadi kuat dan
bertanggungjawab, untuk melindungi, menumbuhkan dan menjadikannya manusia yang
berguna.
Semangat
saya menyala lagi. Cita-cita itu menggoda kembali. Namun saya tak membiarkan
diri saya dijamahnya. Saya persilakan dia datang untuk anak saya. Anak itu saya
persiapkan baik-baik. Makanannya diatur. Pendidikannya diluruskan.
Lingkungannya diperbaiki. Masa depannya dipersiapkan. Tidak sebagaimana orang
tua saya, yang tidak ada waktu untuk mempersiapkan saya untuk mencapai
cita-cita di masa yang lalu. Berbeda dengan orang tua saya, anak itu saya terus
latih, bukan saja untuk menggantungkan cita-citanya lebih tinggi dari langit.
Tetapi untuk meloncat, menerkam dan menaklukkan cita-cita itu. Untuk terbang
melesat melampaui jarak yang tak pernah saya kalahkan. Menjadi manusia yang
berhasil.
Saya
tuturkan kepadanya dongeng-dongeng keberhasilan. bagaimana Hanibal menaklukkan
puncak Alpen. Bagaimana Lim Soei Liong berhasil menjadi orang kaya-raya.
Bagaimana Habibie menjadi orang yang begitu pintar. Bagaimana Rudy Hartono
menjadi juara dan Pele menjadi raja main bola. Saya juga ceritakan tentang
kegagalan-kegagalan saya sendiri, bapaknya. Kenapa sampai bisa keok, padahal
cita-cita sudah tergantung begitu tinggi.
Setiap
hari saya tunjukkan kepadanya bahwa kerja, kerja, kerja adalah nomor satu. Bahwa
belajar, belajar, belajar juga nomor satu.
Tetapi bersamaan dengan itu, keuletan, keberanian, kecepatan,
kecanggihan, kesetiaan, pengorbanan dan kengototan serta kebesaran jiwa untuk
menderita dan menahan penderitaan juga adalah nomor satu. Ia anak saya tidak
boleh menghadapi hidup seperti saya, bapaknya. Dia harus menembus badai. Dia
harus melesat meninggalkan rumah kami yang hina, bau dan tak diperhitungkan
dalam percaturan dunia. Dia harus sukses, nomor satu menjadi seorang pahlawan.
Waktu
kecil badan anak saya subur. Hidungnya bangir. Dia selalu menurut apa yang saya
katakan. Sehingga harapan saya yang pupus, mulai lagi tumbuh. Setiap pagi saya
terbangun dengan gembira. Saya menoleh kepada matahari dengan perasaan
bersahabat. Keringat yang mengucur di tengkuk saya ketika bertugas tidak terasa
lagi sebagai kesia-siaan. Saya hidup dengan gembira. Saya menjalankan
tugas-tugas pengamanan dengan baik. Akhirnya saya mendapat pujian, kenaikan
gaji dan perbaikan ekonomi. Dan itu semuanya karena anak.
Kalau
malam sudah sepi dan anak saya tidur pulas, saya dan istri saya memandanginya
dengan takjub. Memang benar, anak itu adalah harta karun. Dia bukan saja akan
menjadi pahlawan kami, tetapi dia sudah dengan senyatanya menjadi seorang
pahlawan kini. Ia telah membuat saya maju dalam pekerjaan. Dialah yang sudah
menerbitkan matahari di dalam rumah. Kalau waktu muda saja, ia sudah begitu
bergunanya, bagaimana nanti kalau benar-benar sudah jadi orang. Tak pelak lagi,
ia akan menjadi investasi masa depan kami yang andal. Dia akan jadi penakluk.
Menebus segala kekalahan saya, bapaknya.
Saya
merasa puas. Kalau bukan saya yang menjadi seorang pahlawan, anak saya pun
cukup. Harapan-harapan itu semakin hari semakin memberat. Hanya saja salahnya,
harapan tersebut ternyata tidak baik buat anak itu. Dengan digantungi oleh
berbagai mimpi-mimpi muluk saya untuk menjadi seorang pahlawan, tumbuhnya
justru menjadi sangat terganggu. Setiap kali ia saya puji, ia nampak terkejut
dan bingung. Makin keras pujian saya, makin panik dia. Hingga akhirnya saya
mengerti, bahwa harapan saya sudah tumbuh lebih dahsyat dari anak itu sendiri.
Dalam kedahsyatannya, ia lalu perlahan-lahan menggigit anak itu. Mendera dan
nyaris membunuhnya.
Barangkali
anak itu sebenarnya tidak terlalu bodoh. Tidak terlalu ringkih, seperti saya,
bapaknya. Ia mungkin hanya tidak sanggup untuk menanggung semua mimpi-mimpi itu
untuk menjadi kenyataan. Karena ia sendiri memiliki mimpi. Dan mungkin sekali
mimpi itu amat berbeda bahkan bertentangan dengan mimpi saya. Saya tidak tahu,
sebab saya tidak pernah menanyakannya. Sebab ia tidak pernah mengatakannya. Ia
hanya memandang kepada saya, dengan mata kosong, acuh-tak acuh dan mungkin
sekali benci serta jijik.
Ketika
ia rontok dari sekolah, seharusnya saya mulai sadar, bahwa ia bukan seorang
pahlawan. Tetapi waktu itu, saya lebih banyak menyalahkan guru. Saya anggap
bukan anak saya yang bodoh, tetapi gurunya yang malas. Sistim pendidikannya
begitu buruk. Saya hujat Mentri pendidikan yang tak mampu mengembangkan bakat
terpendam dari seorang jenius seperti anak saya. Lalu saya datangi sekolah itu.
Guru-gurunya habis saya maki-maki. Bahkan demi untuk memberikan kesempatan yang
layak kepada anak, saya cabut dia dari sekolah itu. Saya didik sendiri di
rumah.
Tetapi
apa yang terjadi kemudian, payah. Tugas saya yang semakin bertambah,
tanggungjawab saya yang semakin nyelimet karena naik pangkat, tidak
memungkinkan punya waktu banyak. Meskipun saya bisa membebaskan anak itu dari
sekolah, saya tidak berhasil mengisinya dengan pengetahuan. Saya terlalu sibuk.
Akhirnya anak itu dididik oleh lingkungannya. Oleh kawan-kawannya sendiri.
Dia
menjadi seorang wiraswastawan. Saya bantu dia dengan berbagai nasehat dan kiat.
Pengetahuan bukan satu-satunya alat untuk maju. Kejelian untuk mempergunakan
peluang dapat menjadi batu lentingan. Asal dia tekun, teliti dan getol
berusaha, batu pun bisa diubah menjadi emas. Saya anjurkan dia untuk tidak
memaksakan hasilnya terlalu cepat. Yang penting adalah bekerja dengan sepenuh
hati pada bidang yang kau pilih. Apa pun akan berubah menjadi harta-karun,
kalau ditekuni.
Anak
itu mendengarkan saya. Matanya yang semula kuyu, mulai ketampiasan cahaya. Lalu
saya berikan dia modal yang berasal dari celengan keluarga dan memberikannya
kebebasan untuk bekerja. Dalam waktu lima tahun, tiba-tiba sesuatu yang luar
biasa terjadi. Di dinding rumah kami, nangkring gambar sebuah mobil BMW baru
berwarna merah. Sedangkan di atas meja makan, saya lihat brosur sebuah rumah di
real estate yang paling bergengsi. Saya tak mampu kasih komentar, ketika ia
mengatakan, bahwa semua itu segera dalam waktu dekat akan menjadi milik kami
semua.
Ini
mukjizat. Bagaimana mungkin anak saya yang nampaknya gagal itu, bisa tiba-tiba
berhasil?
Tak
lama kemudian, suatu hari, saya dijemput ke tempat pekerjaan oleh istri saya.
Ia menangis tersedu-sedu. Lalu setelah saya bujuk, ia melaporkan bahwa anak
kami itu, sudah menjadi bandit. Ia menjadi kroco dalam kelompok anak-anak
kampung yang putus sekolah. Pemimpinnya seorang jagoan mantan penghuni penjara
Nusa Kambangan. Anak saya sudah jadi kunyuk peredaran obat terlarang.
Saya
langsung pulang dan menyeret anak itu dari sarangnya. Saya hajar dia
habis-habisan. Lebih baik dia mampus daripada membuat dosa seperti itu. Lebih
baik dia tidak punya cita-cita dan jadi orang gagal, seperti saya, bapaknya,
daripada menjadi sampah begitu. Saya ceritakan kepadanya bahwa tidak semua
pekerjaan adalah pekerjaan. Pekerjaan yang membawa keruntuhan moral, akhlak dan
bahkan kematian orang lain, adalah kejahatan. Dan semua bentuk kejahatan
bukanlah pekerjaan, tetapi sakit.
Anak
itu memang sudah sakit. Jiwanya sudah terganggu. Semakin saya hajar dengan
nasehat, nampaknya ia semakin terbenam jauh dan lepas dari pengamatan saya. Ia
tidak hanya menjadi antek, tetapi juga pelalap obat terlarang. Ia bergabung ke
sana untuk membiayai kebutuhannya pada obat-obatan.
Kembali
saya marah kepada guru. Kepada sekolah yang sudah tak berhasil mendidik anak
saya. Kepada guru-guru agama yang tak mampu menerangi otak anak saya. Dan
karena saya tidak bisa menghadap langsung kepada Tuhan, kembali saya datang ke
sekolah itu dan menunjukkan kepada semua orang, bahwa itulah akibat dari sistim
pendidikan yang ngawur. Meskipun diam-diam di dalam hati, saya membantah
sendiri apa yang sudah saya katakan. Karena seandainya saya tidak mencabut anak
saya itu dari sekolah, ia mungkin tidak akan menjadi pahlawan seperti yang saya
harapkan, tetapi setidak-tidaknya ia tidak akan sesat. Dan siapa yang bilang,
berhasil tidak sesat, di dalam zaman yang sesat, bukan perbuatan kepahlawanan?
Saya
bingung. Kehidupan saya sudah bertambah baik. Gengsi saya sudah naik. Posisi
saya menjadi bagus. Gaji saya tambah meyakinkan. Saya sendiri kalau sabar bukan
tidak mungkin akan menjadikan kenyataan gambar BMW di dinding. Meskipun
warnanya tidak merah dan sekedar mobil bekas, yang penting kan mereknya sama.
Bukan mustahil kami bisa pindah rumah real estate seperti yang ada dalam brosur
itu. Setidaknya pindah ke kampong sebelahnya. Tetapi semua itu sudah berantakan, karena anak
saya terlanjur jadi gombal.
Saya
frustasi. Kini anak bukan lagi harapan, tetapi musuh. Saya merasa dikhianati
oleh darah-daging saya sendiri. Saya merasa dimakan dari dalam. Saya tidak
boleh membiarkan semua itu. Saya tidak boleh melepaskan cita-cita yang
tiba-tiba menghampiri sendiri setelah melempaui kegagaln bertahun-tahun. Dan
saya sendiri juga tidak bisa membiarkan anak itu menjadi kecoak, karena saya
bapaknya. Sebagai orang tua saya bertanggungjawab untuk menjadikannya manusia.
Menjadikannya pahlawan. Orang pinter, ke mana anak itu telah saya kirim sudah
putus asa. Beliau mengatakan anak itu sudah hancur-lebur.
Saya
harus menjadi juru selamat.
"Saya
ingin kamu menjadi orang bukan binatang. Jadilah sekali ini saja, seorang yang
bisa aku banggakan dalam hidupku. Sesudah itu itu, terserah apa yang ingin kau
lakukan, karena hidupmu adalah milikmu, " kata saya kepadanya dengan
lembut pada suatu malam.
Ia
tercengang.
"Saya
tidak minta kamu kembali ke sekolah. Saya tidak minta kamu pergi psikiater
lagi. Saya tidak akan minta kamu konsultasi pada guru. Saya hanya minta besok,
kamu datang ke depan pabrik yang selama ini aku jaga itu. Ke depan kantornya.
Besok akan terjadi sebuah demonstrasi besar, untuk menentang upah di bawah upah
menimun yang selama ini sudah dipraktekkan dengan berbagai dalih. Datanglah ke
sana. Ikutlah bersorak bersama-sama orang-orang itu, untuk merebut
kebijaksanaan baru. Teriakan apa saja yang mereka teriakkan, walau pun kamu
tidak mengerti. Serukan keadilan bersama-sama mereka di situ, lebih keras dari
mereka, walau pun kamu tidak tahu apa itu keadilan. Tunjukkan kepada orang
lain, kau berguna. Kau bahkan mampu menentang bapakmu. Bikin sekali ini saja
supaya aku bangga. Setidak-tidaknya pernah bangga, bahwa kamu melakukan
kebaikan. Sekali saja dalam hidupmu!"
Anak
saya itu tercengang.
Tetapi,
ia melakukan apa yang saya minta.
Esok
paginya ia muncul bersama-sama orang-orang yang berdemontrasi untuk menegakkan
hak-hak azasi itu. Saya lihat dari jendela, ia berdiri di samping tukang rokok.
Di tangan kirinya sebatang rokok yang secara teratur dihisapnya dengan dalam. Di
tangan kanannya sebuah sbuah buntalan uyang mencurigakan. Saya tahu ia dalam
keadaan setengah teler. Sementara di depannya para buruh pabrik dengan beringas
mengangkat tangan dan menyerukan yel-yel yang memaki-maki kesewenang-wenangan
perusahaan kami yang sudah menginjak-injak nasib mereka puluhan tahun. Dengan
garang mereka menentang para petugas yang menghadang dengan senjata terhunus.
Waktu
itu saya berdoa dalam hati. Ya Tuhan, saya minta ampun padaMu Tuhan. Saya
terima seluruh dosa-dosa saya ini. Jangan tambah lagi penderitaanku.
Tiba-tiba
saja, anak saya bersuara lantang dan membetri komando menyerbu. Dia berteriak
sekeras-kerasnya, persis seperti yang saya minta. Dan bentrokan berdarah
terjadi. Kini saya lihat jelas sekali, buntalan di tangan kananya itu sebuah
botol. Besar kemungkinan itu bom molotof. Tangan itu berayun-ayun, mengambil
ancang-ancang.
MERAIH
SENJATA. TERDENGAR HIRUK-PIKUK KEHEBOHAN.
Lalu
perlahan-lahan saya angkat senjata. Moncongnya saya arahkan kepada anak saya.
Tepat ke atas kepalanya. Ketika para demonstran itu tidak berhasil masuk karena
dilawan dengan senjata oleh pasuikan anti huru-hara, anak saya mengambil
ancang-ancang. Dia mengangkat tangan semakin tinggi sambil berteriak lebih
parau. Dari mulutnya muntah sumpah-serapah yang menyalurkan seluruh dendamnya
pada kagagalan.
Serbu!!!
HIRUK-PIKUK
MAKIN BERGELORA. IA MENGANGKAT SENJATA DAN MEMBIDIK.
Waktu
itulah saya menarik pelatuk senjata.
Dor!
TIBA-TIBA
SEPI.
Jakarta 17-7-1995
#naskah # monolog # teater # indonesia #sastra
Comments