Monolog
BAJU
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Indraswari Ibrahim
“Saya kira ini kejahatan yang luar bisa, bukan saja datang
dari pihak Hastinapura, juga dari suami-suamiku, yang dengan gegabah
mempertaruhkan diriku sebagai taruhan di meja judi. Ini penghinaan yang luar
bisa, aku bukan budak atau selir! Aku permaisuri yang anak raja. Jadi,
bagaimana mungkin mereka bisa mencampakkan harga diriku di bawah budak-budak
istana? Padahal mereka satria unggulan, karena itu aku memilihnya!”
Aku memilihnya sebagai suamiku dan sekarang yang terlihat adalah ketika seluruh bajuku ditanggalkan oleh Dursosono, suami-suamiku cuma diam-diam saja. Apakah harga diri perempuan yang permaisuri ini di bawah norma hukumnya? Kalau aku tanyakan peristiwa ini, mereka pasti akan menjawab: seorang kesatria harus menepati janjinya?
“Satria-satriaku, tahukah kamu waktu itu, aku lebih tidak menyukaimu daripada Dursosono yang memang tokoh jahat (Krisna tahu karena keperempuananku Krisna tidak membiarkan aku telanjang di muka penjahat-penjahat itu).”
Air mata yang ada di sudut mata kangmas Yudistira atau kemarahan yang ditahan-tahan oleh Bima tidak bisa menolongku pada saat itu. Arjuna lelaki yang peka (lelaki yang paling kucintai) tidak berbuat apa pun dengan anak panahnya. Si kembar Nakula dan Sadewa cuma bisa menangis dalam hatinya, Destarata tidak juga berbuat banyak ketika kusimpuhkan diriku untuk meminta sikapnya. Juga eyang Bisma, paman Widuri yang terkenal bijak, juga tidak berbuat apa-apa. Dalam hal ini mereka menganggap semuanya harus mengikuti aturan main hukum yang berlaku!
Aku menangis, sakit hati, bukan saja kepada Dursosono tetapi juga kepada suami-suamiku. Ini bukan cinta kalau mereka tidak berbuat apa pun kepada kekasihnya. Tiba-tiba aku merasa iri kepada Shinta yang direbut kembali oleh Rama dari Rahwana dengan segala perjuangan dan penderitaannya, sementara diriku mereka biarkan begitu saja. Kalau aku tidak ditolong oleh para Dewa, sudah dari tadi seluruh tubuhku ditonton oleh mereka, dilecehkan dengan nafsu hewaninya di muka suami-suamiku.
Seharusnya suamiku tidak perlu menepati janji akibat dari kecurangan dalam perjudian ini. Di kaputren, para dayang sudah berbisik bahwa permainan dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa sehingga para Pandawa pasti kalah.
Aku sebetulnya sudah melarangnya. Tapi, suami-suamiku yang perkasa tidak memedulikan naluri seorang istri. Mereka bilang, perjudian ini cuma menghormati tuan rumah yang sudah mengundang kita. Kalau kalah, mereka berjanji akan berhenti sebelum sepuluh kuda dan kereta perang dipertaruhkan.
Menurut pendapat mereka, dengan permainan ini mereka berharap akan terjadi sebuah perjanjian bahwa Hastinapura akan dikembalikan kepada mereka. Dengan begitu, mereka akan terhindar dari perang saudara.
Aku tidak percaya, tapi suami-suamiku bilang kalau perempuan selalu berbicara dengan perasaan tidak dengan otak. “Bersenang-senanglah di kaputren melihat taman yang indah yang akan menjadi milik kita kembali Dinda!”
Aku lupa siapa yang bilang begitu. Suami-suamiku memang memiliki satu pemikiran sekalipun watak mereka berbeda.
Duh Gusti………., mereka membuka bajuku, sepertinya aku ini budak atau pelacur. Tidak pernah aku diperlakukan seperti ini. Tubuh perempuanku adalah ekspresi dari seluruh jiwa ragaku. Aku selalu menuntut mereka memperlakukan aku dengan perasaan yang saling menghormati ketika kita bercinta. Suami-suamiku kuajari menyentuh dengan keindahan dan saling menghormati. Begitulah yang kita lakukan bertahun-tahun. Tapi, sekarang mereka tidak berbuat apa pun. Sungguh menjijikkan ketika kulihat suamiku cuma menunduk dan diam-diam saja (apakah mereka kali ini begitu bodoh, tidak melihat kecurangan itu?).
Pada saat itu aku memohon pada Dewata untuk mati saja daripada dihina seperti ini. Di mana orang-orang bersorak-sorai memberi semangat kepada Dursosono dengan menari-nari. Nampak olehku nafsu liar yang luar biasa dari mereka. Padahal mereka memiliki seorang perempuan juga, yaitu istri, ibu-ibu mereka, saudara perempuan, dan anak-anak mereka. Tapi, bagaimana aku bisa menuntut seperti angan-anganku ini. Aku sama sekali tidak mengerti ketika melihat Yudistira yang bijak cuma bisa menundukkan kepalanya. Padahal perempuan selalu menganggap suamilah yang akan melindungi dia melawan musuh-musuhnya.
Begitulah, aku sekian lama bermimpi suami-suamiku satria yang gagah perkasa akan menumbangkan darah demi melindungi istrinya. Tapi, kenyatannya mereka cuma diam-diam saja. Aku tidak tahu apakah dalam kejadian ini aku masih hidup atau sudah mati? Yang jelas aku mengatupkan bibirku karena aku tidak ingin sentuhan-sentuhan yang menjijikkan itu yang akan segera menikmati apa yang ada dalam tubuhku.
SEJAK kecil ibu sering berkata, “Hormatilah tubuhmu sendiri.” Oleh karena itu, sejak kecil aku mesti memperlakukan setiap bagian tubuhku dengan rasa sayang dan hormat. Dan sebagai permaisuri Hastinapura aku mengajari perempuan di sekelilingku, untuk mengekspresikan dengan hormat, dan indah, tubuhnya sendiri maupun tubuh suami mereka.
Dursosono masih menarik bajuku, dan atas pertolongan Krisna, baju dan kainku tidak pernah terbuka. Padahal aku tidak mempunyai kemampuan untuk menjaganya pada waktu itu.
Yang ada pada waktu itu, rasa sakit yang luar biasa di seluruh urat nadiku. Kalau saja Dewata pada waktu itu berdiri di mukaku yang kumohonkan adalah kematian! Rasanya aku sudah mempunyai firasat dan mimpiku yang berturut-turut bahkan sempat aku ceritakan pada suami-suamiku bahwa aku tidur dengan telanjang dan diperkosa oleh penjahat-penjahat Hastinapura.
Suami-suamiku dengan santun mendengarkan ceritaku, tapi mereka tidak mempercayai mimpiku. Undangan dari Hastinapura mengharu-birukan perasaan mereka dan setiap kecemasanku tidak pernah ditanggapi oleh mereka. Bahkan mereka dengan asyiknya berlatih main dadu.
Sesungguhnya, pada saat itu aku ingin sekali bumi ini terbelah dan aku masuk ke dalamnya. Namun, ketika mendengar sorak-sorai mereka dengan nafsu hewaninya dan ketidakberdayaan suami-suamiku ketika Dursosono membuka bajuku, kemarahan meledak di hatiku. Aku tiba-tiba ingin menyelesaikan masalah ini dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, aku mencintai suami-suamiku dan inikah balasan mereka? Pernikahan kami yang bahagia berakhir dengan kepicikan mereka. Suami-suamiku seperti tidak menghargai lagi ekspresi tubuhku dan keberadaanku di tengah-tengah mereka.
Aku tidak tahu bagaimana mungkin suami-suamiku bisa terjebak dengan peristiwa ini. Dayang-dayangku saja tidak punya suami yang kelakuannya begitu hina-dina seperti ini. Bisakah kau bayangkan? Aku Drupadi dilahirkan dengan puja-pujian orangtuaku kepada Dewa Shiva selama beberapa tahun lamanya. Sekalipun kerajaan orangtuaku tidak sebesar Hastinapura, aku Drupadi yang diberi kebebasan oleh Romo untuk memilih sendiri suami-suami lewat sayembara.
Kupilih satria yang berbaju brahmana. Aku tidak pernah tahu kalau kangmas Arjuna yang memenangkan lomba membengkokkan busur itu adalah putra Kunti, sebuah kerajaan yang paling adikuasa. Jadi jelas aku tidak memilih suami-suamiku karena dia keturunan raja-raja Hastinapura. Bersama suami-suamiku aku tinggal di hutan, (ketika mereka diasingkan kami masih pengantin baru). Apakah ini bukan sebuah cinta yang tulus? Dan pada saat ini mereka menafikan cintaku, penderitaanku, dan mimpi- mimpi indahku. Menjadi bayang-bayang suram yang menaungi diriku.
Aku merasa pusing dan muntah-muntah. Sungguh aku tidak bisa menangis. Kupejamkan mataku hingga tidak kulihat kenyataan yang begitu dahsyat di mana suami-suamiku cuma pandai menundukkan kepala saja di tengah keliaran nafsu para Kurawa yang semakin kulihat sebagai iblis-iblis. Untuk berapa saat aku pingsan. Aku menyesal ketika aku terbangun dan melihat Dursosono masih mencoba menarik-narik busanaku sedangkan suamiku dan sesepuh Hastinapura sudah kehilangan akal untuk menghentikan kejadian ini.
Tiba-tiba, kemarahan membuat aku berteriak-teriak, “Destarata ambillah sikapmu, engkau tetap ayahanda dari mereka.” Aku lihat Destarata menjadi gemetar dan terduduk di kursinya. Eyang Bisma dan paman Widuri seperti blingsatan.
Kukatakan sekali lagi, “Baginda raja, tidak adakah lagi kebenaran di istana Hastinapura ini?” Aku lihat Destarata seperti dihantam dan akhirnya Widuri berkata, “Atas nama raja hentikan semua itu Baginda!”
Para Kurawa seperti mengaum.
Aku merasa bertarung sendirian di sepanjang waktu itu. Tiba-tiba air mataku jadi kering, kulihat Destarata yang tangannya terluka. Aku mencoba menahan seluruh kemarahan dan rasa benciku ketika Destarata memintaku membalut tangannya yang terluka.
Akhirnya Destarata berkata, “Mintalah apa saja kepadaku Drupadi, aku akan mengabulkan permintaanmu.”
Aku berkata, “Bebaskan Bima dan saudara-saudaranya.” Dan Destarata berkata kembali, “Kukembalikan Pandawa kepada kau sebagai suami-suamimu dan ini adalah anugerah dari raja Hastinapura.”
Kemarahan semakin meledak-ledak di dalam hatiku. Kurasakan penghinaan itu sampai ke urat nadiku. Aku kira ini bukan anugerah dari Destarata. Kurebut mimpiku sebagai perempuan.
Apakah suami-suamiku dengan caranya masih bisa disebut sebagai satria? Sementara itu, di sisi lain, aku masih menjadi bagian dari mereka, tak secuil pun yang akan menjadi milikku?
Jadi, setelah aku berikan seluruh jiwa dan ragaku kepada Pandawa tanpa seculi pun yang jadi milikku, aku jadi bertanya-tanya, “Siapakah diriku?”
Lantas “Aku bersumpah tidak akan menggulung rambutku sebelum keramas dengan darahnya Dursosono.”
Halilintar saling sambar-menyambar, Dewata menyaksikan sumpahku.
Para Kurawa dan suami-suamiku terpana! *
Aku memilihnya sebagai suamiku dan sekarang yang terlihat adalah ketika seluruh bajuku ditanggalkan oleh Dursosono, suami-suamiku cuma diam-diam saja. Apakah harga diri perempuan yang permaisuri ini di bawah norma hukumnya? Kalau aku tanyakan peristiwa ini, mereka pasti akan menjawab: seorang kesatria harus menepati janjinya?
“Satria-satriaku, tahukah kamu waktu itu, aku lebih tidak menyukaimu daripada Dursosono yang memang tokoh jahat (Krisna tahu karena keperempuananku Krisna tidak membiarkan aku telanjang di muka penjahat-penjahat itu).”
Air mata yang ada di sudut mata kangmas Yudistira atau kemarahan yang ditahan-tahan oleh Bima tidak bisa menolongku pada saat itu. Arjuna lelaki yang peka (lelaki yang paling kucintai) tidak berbuat apa pun dengan anak panahnya. Si kembar Nakula dan Sadewa cuma bisa menangis dalam hatinya, Destarata tidak juga berbuat banyak ketika kusimpuhkan diriku untuk meminta sikapnya. Juga eyang Bisma, paman Widuri yang terkenal bijak, juga tidak berbuat apa-apa. Dalam hal ini mereka menganggap semuanya harus mengikuti aturan main hukum yang berlaku!
Aku menangis, sakit hati, bukan saja kepada Dursosono tetapi juga kepada suami-suamiku. Ini bukan cinta kalau mereka tidak berbuat apa pun kepada kekasihnya. Tiba-tiba aku merasa iri kepada Shinta yang direbut kembali oleh Rama dari Rahwana dengan segala perjuangan dan penderitaannya, sementara diriku mereka biarkan begitu saja. Kalau aku tidak ditolong oleh para Dewa, sudah dari tadi seluruh tubuhku ditonton oleh mereka, dilecehkan dengan nafsu hewaninya di muka suami-suamiku.
Seharusnya suamiku tidak perlu menepati janji akibat dari kecurangan dalam perjudian ini. Di kaputren, para dayang sudah berbisik bahwa permainan dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa sehingga para Pandawa pasti kalah.
Aku sebetulnya sudah melarangnya. Tapi, suami-suamiku yang perkasa tidak memedulikan naluri seorang istri. Mereka bilang, perjudian ini cuma menghormati tuan rumah yang sudah mengundang kita. Kalau kalah, mereka berjanji akan berhenti sebelum sepuluh kuda dan kereta perang dipertaruhkan.
Menurut pendapat mereka, dengan permainan ini mereka berharap akan terjadi sebuah perjanjian bahwa Hastinapura akan dikembalikan kepada mereka. Dengan begitu, mereka akan terhindar dari perang saudara.
Aku tidak percaya, tapi suami-suamiku bilang kalau perempuan selalu berbicara dengan perasaan tidak dengan otak. “Bersenang-senanglah di kaputren melihat taman yang indah yang akan menjadi milik kita kembali Dinda!”
Aku lupa siapa yang bilang begitu. Suami-suamiku memang memiliki satu pemikiran sekalipun watak mereka berbeda.
Duh Gusti………., mereka membuka bajuku, sepertinya aku ini budak atau pelacur. Tidak pernah aku diperlakukan seperti ini. Tubuh perempuanku adalah ekspresi dari seluruh jiwa ragaku. Aku selalu menuntut mereka memperlakukan aku dengan perasaan yang saling menghormati ketika kita bercinta. Suami-suamiku kuajari menyentuh dengan keindahan dan saling menghormati. Begitulah yang kita lakukan bertahun-tahun. Tapi, sekarang mereka tidak berbuat apa pun. Sungguh menjijikkan ketika kulihat suamiku cuma menunduk dan diam-diam saja (apakah mereka kali ini begitu bodoh, tidak melihat kecurangan itu?).
Pada saat itu aku memohon pada Dewata untuk mati saja daripada dihina seperti ini. Di mana orang-orang bersorak-sorai memberi semangat kepada Dursosono dengan menari-nari. Nampak olehku nafsu liar yang luar biasa dari mereka. Padahal mereka memiliki seorang perempuan juga, yaitu istri, ibu-ibu mereka, saudara perempuan, dan anak-anak mereka. Tapi, bagaimana aku bisa menuntut seperti angan-anganku ini. Aku sama sekali tidak mengerti ketika melihat Yudistira yang bijak cuma bisa menundukkan kepalanya. Padahal perempuan selalu menganggap suamilah yang akan melindungi dia melawan musuh-musuhnya.
Begitulah, aku sekian lama bermimpi suami-suamiku satria yang gagah perkasa akan menumbangkan darah demi melindungi istrinya. Tapi, kenyatannya mereka cuma diam-diam saja. Aku tidak tahu apakah dalam kejadian ini aku masih hidup atau sudah mati? Yang jelas aku mengatupkan bibirku karena aku tidak ingin sentuhan-sentuhan yang menjijikkan itu yang akan segera menikmati apa yang ada dalam tubuhku.
SEJAK kecil ibu sering berkata, “Hormatilah tubuhmu sendiri.” Oleh karena itu, sejak kecil aku mesti memperlakukan setiap bagian tubuhku dengan rasa sayang dan hormat. Dan sebagai permaisuri Hastinapura aku mengajari perempuan di sekelilingku, untuk mengekspresikan dengan hormat, dan indah, tubuhnya sendiri maupun tubuh suami mereka.
Dursosono masih menarik bajuku, dan atas pertolongan Krisna, baju dan kainku tidak pernah terbuka. Padahal aku tidak mempunyai kemampuan untuk menjaganya pada waktu itu.
Yang ada pada waktu itu, rasa sakit yang luar biasa di seluruh urat nadiku. Kalau saja Dewata pada waktu itu berdiri di mukaku yang kumohonkan adalah kematian! Rasanya aku sudah mempunyai firasat dan mimpiku yang berturut-turut bahkan sempat aku ceritakan pada suami-suamiku bahwa aku tidur dengan telanjang dan diperkosa oleh penjahat-penjahat Hastinapura.
Suami-suamiku dengan santun mendengarkan ceritaku, tapi mereka tidak mempercayai mimpiku. Undangan dari Hastinapura mengharu-birukan perasaan mereka dan setiap kecemasanku tidak pernah ditanggapi oleh mereka. Bahkan mereka dengan asyiknya berlatih main dadu.
Sesungguhnya, pada saat itu aku ingin sekali bumi ini terbelah dan aku masuk ke dalamnya. Namun, ketika mendengar sorak-sorai mereka dengan nafsu hewaninya dan ketidakberdayaan suami-suamiku ketika Dursosono membuka bajuku, kemarahan meledak di hatiku. Aku tiba-tiba ingin menyelesaikan masalah ini dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya, aku mencintai suami-suamiku dan inikah balasan mereka? Pernikahan kami yang bahagia berakhir dengan kepicikan mereka. Suami-suamiku seperti tidak menghargai lagi ekspresi tubuhku dan keberadaanku di tengah-tengah mereka.
Aku tidak tahu bagaimana mungkin suami-suamiku bisa terjebak dengan peristiwa ini. Dayang-dayangku saja tidak punya suami yang kelakuannya begitu hina-dina seperti ini. Bisakah kau bayangkan? Aku Drupadi dilahirkan dengan puja-pujian orangtuaku kepada Dewa Shiva selama beberapa tahun lamanya. Sekalipun kerajaan orangtuaku tidak sebesar Hastinapura, aku Drupadi yang diberi kebebasan oleh Romo untuk memilih sendiri suami-suami lewat sayembara.
Kupilih satria yang berbaju brahmana. Aku tidak pernah tahu kalau kangmas Arjuna yang memenangkan lomba membengkokkan busur itu adalah putra Kunti, sebuah kerajaan yang paling adikuasa. Jadi jelas aku tidak memilih suami-suamiku karena dia keturunan raja-raja Hastinapura. Bersama suami-suamiku aku tinggal di hutan, (ketika mereka diasingkan kami masih pengantin baru). Apakah ini bukan sebuah cinta yang tulus? Dan pada saat ini mereka menafikan cintaku, penderitaanku, dan mimpi- mimpi indahku. Menjadi bayang-bayang suram yang menaungi diriku.
Aku merasa pusing dan muntah-muntah. Sungguh aku tidak bisa menangis. Kupejamkan mataku hingga tidak kulihat kenyataan yang begitu dahsyat di mana suami-suamiku cuma pandai menundukkan kepala saja di tengah keliaran nafsu para Kurawa yang semakin kulihat sebagai iblis-iblis. Untuk berapa saat aku pingsan. Aku menyesal ketika aku terbangun dan melihat Dursosono masih mencoba menarik-narik busanaku sedangkan suamiku dan sesepuh Hastinapura sudah kehilangan akal untuk menghentikan kejadian ini.
Tiba-tiba, kemarahan membuat aku berteriak-teriak, “Destarata ambillah sikapmu, engkau tetap ayahanda dari mereka.” Aku lihat Destarata menjadi gemetar dan terduduk di kursinya. Eyang Bisma dan paman Widuri seperti blingsatan.
Kukatakan sekali lagi, “Baginda raja, tidak adakah lagi kebenaran di istana Hastinapura ini?” Aku lihat Destarata seperti dihantam dan akhirnya Widuri berkata, “Atas nama raja hentikan semua itu Baginda!”
Para Kurawa seperti mengaum.
Aku merasa bertarung sendirian di sepanjang waktu itu. Tiba-tiba air mataku jadi kering, kulihat Destarata yang tangannya terluka. Aku mencoba menahan seluruh kemarahan dan rasa benciku ketika Destarata memintaku membalut tangannya yang terluka.
Akhirnya Destarata berkata, “Mintalah apa saja kepadaku Drupadi, aku akan mengabulkan permintaanmu.”
Aku berkata, “Bebaskan Bima dan saudara-saudaranya.” Dan Destarata berkata kembali, “Kukembalikan Pandawa kepada kau sebagai suami-suamimu dan ini adalah anugerah dari raja Hastinapura.”
Kemarahan semakin meledak-ledak di dalam hatiku. Kurasakan penghinaan itu sampai ke urat nadiku. Aku kira ini bukan anugerah dari Destarata. Kurebut mimpiku sebagai perempuan.
Apakah suami-suamiku dengan caranya masih bisa disebut sebagai satria? Sementara itu, di sisi lain, aku masih menjadi bagian dari mereka, tak secuil pun yang akan menjadi milikku?
Jadi, setelah aku berikan seluruh jiwa dan ragaku kepada Pandawa tanpa seculi pun yang jadi milikku, aku jadi bertanya-tanya, “Siapakah diriku?”
Lantas “Aku bersumpah tidak akan menggulung rambutku sebelum keramas dengan darahnya Dursosono.”
Halilintar saling sambar-menyambar, Dewata menyaksikan sumpahku.
Para Kurawa dan suami-suamiku terpana! *
SELESAI
Comments