Skip to main content

Naskah Monolog BIN




















Monolog
BIN
Oleh : BenJon*

















INTERIOR RUMAH KOST. PESAWAT TELEVISI. SEBUAH KOTAK KURSI, SEKALIGUS BERFUNGSI SEBAGAI RAK BUKU. SEBUAH KOMPOR DAN CERET. DI DINDING TERGANTUNG LUKISAN MIRIP DIPONEGORO MENUNGGANG KUDA, DENGAN SEBUAH GITAR ELEKTRIK DI PUNGGUNGNYA. MALAM HARI. BIN MENGUAK DAUN JENDELA. BIN MENGELUARKAN DIKTAT. MEMBACA CEPAT TANPA SUARA, HANYA TAMPAK GERAK MULUT DAN MATANYA. BIN MEROBEK HALAMAN TERAKHIR. MENYALAKAN PEMANTIK. KERTAS ITU DIBAKAR. ABUNYA DIMASUKKAN KE DALAM GELAS. MENYEDUHNYA DENGAN AIR DARI CERET. TELUNJUKNYA MENGADUK GELAS. BIN MEMUNGGUNGI PENONTON. MENGACUNGKAN TANDA TOAST PADA LUKISAN MIRIP DIPONEGORO. LALU DENGAN GERAKAN CEPAT MENENGGAK HABIS MINUMANNYA. BIN MENYEKA TEPI BIBIRNYA. TERKEKEH BANGGA. NAMPAK GIGI DEPANNYA YANG HITAM.

BIN
Besok aku ujian. Lusa sudah pakai toga. Minggu depan pasti diterima kerja kantoran. Pasti itu. Pasti! Sebab gua adalah lulusan paling berbakat. Terus terang, bakat gue banyak. Dari paranormal sampai ngebobol ATM, gua bisa praktekin. Dari nulis proposal sampai kaligrafi, gua jagonya. Inggris gua lumayanlah buat spik-spik. Apalagi? Optimis itu kudu. Harus! It a must! Kalo ga sanggup optimis, baru lo ngemis.

(HP-nya bordering. Bin menjawab).

Hei Juk, ngapain lo? Ngapain? Bereslah. Gua udaj kelar. Gak, gua udah brenti ngopi. Sekarang gua makan diktat (Bin terbahak). Apaan Juk? Hah, perang diponegoro? Ngapain lo masih urus soal gituan. Juki, Juki, itu mah perkara jadul. Ga akan keluar di ujian. Hei, men. Emang kita ini mahasiswa jurusan sejarah. Tapi belajar sejarah itu bukan ngapalin sejarah orang lain, men. Kita kudu nglahirin sejarah kita sendiri. Lo ngerti ga sih. Soal Diponegoro itu bukan soal kita lagi. Lagian, Diponegoro itu udah dijiplak ama biduan Oma Ririwa. Bener! Lo percaya gua. Lo belum liat pelemnya? Ah, kuno amat lo. Judulnya “Satria Begitar”. Itu titisan Diponegoro gaya 80-an. Pelemnya box office, men. Yoi, emang ga sebanding ama “Matrix”. Si Neo itu keren. Keren abis dia. Itu yang gua suka ama sejarah. Sejarah itu intinya melawan, men. Si Neo itu, kalo gua mau bandingin, dia agak deket-deket ama Sukarno. Iye, Sukarno yang jadi patung itu. Bedanya Cuma atu! Kalo si Neo itu, dia setia banget ama satu cewe. Kalo Sukarno, ya lu tai sendiri kan? Santai aja, Juk. Rileks. Ujian Sejarah itu intinya cuma satu : Lo kudu brani ngelawan. Penguji itu semacam antek colonial juga. Mirip-mirip Daendels gitu lah. Perintahnya kan serba ngatur. Baca ini! Pelajari itu! Ringkas bab ini! Terjemahkan itu! Itu semua rodi, men. Rodi, rodi, dan rodi. Apaan? Omongan gua mirip Hetty Koes Endang? Kampret lo! Oke, Juk. Segitu aja dari gua. Ada sms masuk ni. Peace, men.

(Bin meng-off HP-nya. Meloncat ke luar dari tulang jendela. Mengeluarkan lintingan dari saku celana. Lihat kiri-kanan. Menyalakan pemantik. Menghisap lintingannya dalam-dalam, lalu dihembuskan dengan nikmat).


Apa yang bisa gua ambil dari diktat-diktat beginian? Isinya kertas melulu. Huruf-huruf tanpa nyali. Apalagi yang ditunggu mahasiswa? Ijazah bisa dibeli. Nilai gampang disulap. Ujian ada bocoran. Skripsi ada pengrajinnya. Uang kuliah selangit. Tapi belajar cuma nyontek rangkuman. Bosan praktikum, mahasiswa bikin festival tawuran. Alasannya luhur : mencari bibir atlit buat lomba intifadah tingkat nasional. Hah, pikiran waras udah kebalik-balik. Tiap orang pada main sulap sekarang.

(Bin membuang diktatnya).

Setiap zaman ada orangnya. Setiap orang ada zamannya. Ini zaman gua! Ini sejarah gua!

(Dengan bangga Bin menunjukkan lintingannya. Lalu dihisapnya lagi dalam-dalam. Dari seberang jalan terdengar raung selusin motor yang pekak dan hingar. Bin merapat ke jendela, menyembunyikan lintingannya. Suara dan pekik pengendara motor terdengar bersahutan, dengan perintah-perintah yang kasar).

Geng motor beraksi lagi. Pasti ngejarah lagi. Nyiksa orang lagi. ATM, toserba, took cina, digasak lagi. Mereka anak-anak muda yang dibebani banyak cicilan. Zaman sekarang, kalo ga nyicil mana bisa gaya. Sejarah sekarang adalah sejarah mencicil. Kekuasaan dicicil. Korupsi dicicil. Penjara juga bisa dicicil. Ah, muak gua. Gua bisa ngerti kenapa anak-anak muda itu bangga jadi geng motor. Mereka itu sejenis underground yang butuh jadi pahlawan, meski Cuma sesaat. Setengah kriminil, setengah hiburan. Mereka anak-anak tanggung yang sumpek di rumah, dan ingin cari ledakan di jalan-jalan. Mereka mencicil kebahagiaan, dengan naluri kuda.

(Bicara dengan gaya deklamasi).

Pacu! Serbu! Serang! Terjang! Amarah di kiri. Frustasi di kanan. Berselempang cicilan yang macet angsuran. Tak gentar meski polisi banyaknya seribu kali.

(Bin memandang lukisan mirip Diponegoro dari luar jendela).

Hmm, kalo dipikir-pikir, anak-anak geng motor itu punya juga semangat Diponegoro. Ah, ngapain bahas soal gituan. Ga akan keluar di ujian.

(HP bin berdering lagi. Ringtone-nya lagu rancak bernuansa Arabic-Melayu. Bin mengeluarkan HP-nya yang lain. Bin hati-hati menjawab).

Halo? Ya. Ya, saya Bin. Siapa ini?

(suara Bin berubah hormat)

Wa alaikum salam. Oh, ini abang, kan? Abang Nurdin? Kata sandi : Petai muda di semenanjung. Allahuakbar… Abang selamat? Abang di mana sekarang? Masih sembunyi? Ya, ya, saya mengerti, bang. Sebentar, saya pasang hands-free dulu. Saya kira di sini aman. Saya lagi sendiri. Bagaimana rencana abang? Batal kembali ke KL? Ya, Abu Duja masih di dalam, bang. Dia kena lima belas tahun. Samodra dan Mas Am, yah… hampir tamat, bang. Oh, abang ada rencana masuk Jambi? Saya kira situasinya masih riskan. Tidak. Tidak ada yang penting di sini. Kabarnya ada Peksiminas. Ah, itu acara studen-studen, bang. Tari-menari, mahasiswa mainkan sandiwara. Lalu bagi-bagi piala. Benar, itu pengaruh kapitalis.

(Suara Bin beralih menjadi tegas dengan nada tinggi).

Amerika memang biangnya jahiliyah, bang. Setuju, bang. Allahuakbar! (Bin terkekeh). Masih, bang. Saya masih mainkan muslihat sebagai orang terpelajar. Bagaimana paras abang sekarang? Oh, bang Nurdin bersulih rupa sebagai dokter kandungan? Rancak! Rancak! Abang terima aborsi juga? Itu muslihat cendekia. Oh, di Jambi ini, saya tak paham statistikanya, bang. Tapi aborsi potensial juga. Baiklah, bang. Kontak saya kalau rencana sudah matang. Allahuakbar. Waalaikumsalam.

(Wajah Bin berubah keras. Matanya tajam. Suaranya bergetar).

Sejarah tidak ditulis. Sejarah hanya meledak. Diledakkan oleh tangan-tangan yang berani melawan. Tangan-tangan yang penuh disiplin menjaga rahasia.

(Bin membuka punggung HP. Mengeluarkan kartu. Menyalakan pemantik. Membakar kartu itu. Suara derui motor mendekat, makin hingar. Terdengar suara-suara perintah untuk menyerang. Bin terkepung suara-suara motor itu. Terlihat Bin terhuyung, terpental, terseok, lalu terkapar. Suara-suara motor cepat menghilang, diiringi suara-suara tawa yang puas.lima detik senyap. Setelah itu HP Bin berdering. Wajah Bin berdarah. Tangannya juga berdarah. Susah payah dia menjawab, dengan suara patah-patah).

Juki, ah… tolong aku. Aku berdarah, Juk. Aku dikerjain orang. Geng motor. Aku dikepung, ditabrak. Mereka salah orang? Apa? Kampus dibakar? Ada bekas bom. Tidak mungkin. Bukan orang kita. Aku belum dapat perintah. Pasti ada yang hianat. Mana mungkin? Ruang ujian habis. Rektorat, perpus, gosong semua? Jadwal ujian tidak pasti? Oh… tidak. Besok aku harus ujian, Juk. Bin akan pakai toga. Bin akan jadi sarjana sejarah. Setelah itu, setelah wisudaku selesai, baru semuanya boleh meledak. Kampus meledak. Buku-buku meledak. Penguji meledak.  Itu pasti, Juk. Harus pasti. Sebab sebuah generasi akan merebut ruang. Membangun dari reruntuhan. Dan mesiu adalah sebagian pengetahuan. Kamu paham, Juk. Besok aku harus ujian. Ujian tidak bisa ditunda. Sejarah juga tidak. Aku butuh sejarah. Aku harus masuk sejarah. Sebab aku adalah….

(Terdengar tembakan sekali. Bin rubuh sambil memegang dada. Di latar belakang cahaya makin merah. Televisi menyala, menyampaikan berita terkini. Terdengar suara sepasang penyiar laki-wanita bergantian melaporkan seperti ini).

BREAKING NEWS PUKUL DUA DINI HARI. SAUDARA-SAUDARA, SEBUAH INSIDEN PENEMBAKAN DILAPORKAN TERJADI BEBERAPA SAAT LALU DI JALAN TAYA JAMBI, MUARA BALIAN, TEPATNYA DI DEPAN KAMPUS PINANG MASAK, JAMBI. KORBAN DIKETAHUI BERNAMA BINARTO WALUYO ALIAS ABU AWWAS. LUKA TEMBAK TEPAT MENGENAI JANTUNG KORBAN. PELAKU PENEMBAKAN ADALAH TEMAN DEKAT KORBAN DENGAN INISIAL J U K ALIAS N R D ALIAS T O P; SEORANG LAKI-LAKI YANG DIDUGA TERLIBAT ASMARA SEJENIS DENGAN KORBAN. J U K ALIAS N R D ALIAS T O P DIKETAHUI POLISI SEBAGAI PENTOLAN SEBUAH GENG MOTOR DAN PENYALUR BARANG HARAM. MOTIF PENEMBAKAN DIDUGA KARENA PEREBUTAN HARTA GONO-GINI. IRONISNYA, KORBAN BINARTO WALUYO ALIAS ABU AWWAS, SEHARI SEBELUMNYA USAI DIWISUDA SEBAGAI SARJANA FARMAKOLOGI DARI SEBUAH UNIVERSITAS TERNAMA DI JAMBI. POLISI DAN SATUAN INTEL SEGERA MELAKUKAN PENGEJARAN PADA SI PELAKU, YANG JUGA DIKENAL PANDAI MERUBAH PENAMPILAN. SEMENTARA JENAZAH KORBAN DILARIKAN KE RSUP TERDEKAT UNTUK DILAKUKAN OTOPSI. SEKIAN BREAKING NEWS KALI INI.

(Cahaya perlahan meredup. TV tidak bergambar lagi. Tulang jendela runtuh, menimpa sabagian tubuh Bin yang masih terkapar. Bin berusaha merangkak mendekati televisi sambil mengacungkan jari tengahnya).

BIN :
Hei, Bin masih di sini. Tak ada yang tolong aku. Bin sekarat. Bin belum diwisuda. Tolong laporkan ini. Hei, kamu yang di balik layar itu. Tolong laporkan ini. (suara Bin lirih, jari tengahnya masih mengacung). Televisi…. Oh, televisi… fuck you!!!

SELESAI



*BenJon/ Benny Yohanes, pengajar di STSI Bandung dan SBM-ITB.
Komplek Griya Bandung Asri I Blok D No. 176/177 Bojongsoang-Bandung 40288
Telp/Faks. : 022 7500692 HP : 0818200206 e-mail : benjon@bdg.centrin.net.id


#Naskah #monolog #teater #sastra

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Balada Sumarah Karya Tentrem Lestari

Monolog Balada Sumarah Karya Tentrem Lestari SIANG ITU MATAHARI MEMBARA DI ATAS KEPALA.   DI SEBUAH SIDING PENGADILAN TERHADAP SEORANG PEREMPUAN YANG TERTUDUH TELAH MELAKUKAN PEMBUNUHAN TERHADAP MAJIKANNYA, AKU SEPERTI DIDERA UCAPANNYA.   SEPERTI DILUCUTI HINGGA TANGGAL SELURUH ATRIBUT PAKAIAN BAHKAN KULIT-KULITKU.   PEREMPUAN ITU, BERNAMA SUMARAH, TKW ASAL INDONESIA.   DINGIN DAN BEKU WAJAHNYA.   DAN MELUNCURLAH BAIT-BAIT KATA ITU : Dewan Hakim yang terhormat, sebelumnya perkenankan saya meralat ucapan jaksa, ini bukan pembelaan.   Saya tidak merasa akan melakukan pembelaan terhadap diri saya sendiri, karena ini bukan pembenaran.   Apapun yang akan saya katakana adalah hitam putih diri saya, merah biru abu-abu saya, belang loreng, gelap cahaya diri saya.   Nama saya Sumarah.   Seorang perempuan, seorang TKW, seorang pembunuh, dan seorang pesakitan.   Bena...

Monolog KAUS KAKI BOLONG

Monolog KAUS KAKI BOLONG Karya Hermana HMT PANGGUNG TERASA MAGIS. SUASANA DIBANGUN OLEH BUNYI ALAT MUSIK GESEK YANG DIPADU DENGAN SUARA ORANG-ORANG BERGUMAM. DI TENGAH PANGGUNG TAMPAK SATU SOSOK TUBUH TERBARING KAKU, TERTUTUP KAIN BATIK SEPERTI MAYAT DAN DI BELAKANGNYA BERDIRI SEBUAH KURSI LIPAT. NGIGAU Ini bukan salahku ! Aku tidak tahu menahu soal itu. Sungguh ! Tidak. Tidak! Jangan pandangi aku seperti itu. Aku…aku.. ahhh ! LAKI-LAKI ITU BERDIRI. IA MENATAP KE SEGALA PENJURU, YANG MANA TIAP LIRIKANNYA CUKUP PELAN DAN MENGANDUNG MISTERI Kenapa kalian pandangi aku seperti itu ? Jangan asal, ya ! Memangnya aku ini apa ? Aku bukanlah barang antik yang suka di pajang di etalase-etalase, atau bintang film murahan koliksi para cukong, apalagi doger monyet yang sering ngamen di pasar malam ! Oh, barang kali kalian suka sama aku. Suka, ya ? Heh ! Tidak ? Ah suka. Jangan munafik deh. Tu kan…tu kan suka. MELUDAH Pu...

Naskah Monolog B A H A Y A Karya Putu Wijaya

Monolog B A H A Y A Karya Putu Wijaya DUDUK DI KURSI MEMAKAI SELIMUT PUTIH, HABIS CUKUR. CAMBANGNYA MAU DI KEROK.             Ketika tukang cukur menghunus pisau untuk meratakan godek, aku tersentak. Aku baru menyadari bahwa kehidupan berbahaya. Dunia manusia sama buasnya dengan rimba raya. Mengancam. Di mana-mana menganga bahaya. Siapa yang dapat menjamin tukang cukur itu tidak hanya akan merapikan godek dan jenggot kita. Bagaimana kalau dia menorehkan pisah itu ke leherku? BERDIRI, MENGHINDARI BAHAYA. Kita tidak boleh mengambil resiko untuk potong rambut di sembarang tempat. Karena berhubungan dengan tukang potong rambut yang tak dikenal, setiap saat bisa berarti memotong leher. Bahkan dengan tukang cukur yang sudah dikenal pun selalu ada bahaya. Bagaimana kalau pisau yang terhunus di tangannya itu menimbulkan inspirasinya, mem...