Monolog
Ibu yang Anaknya Diculik Itu
(sekuel Mengapa
Kau Culik Anak Kami)
PANGGUNG GELAP.
MUSIK FADE IN.
LIGHTING FADE IN.
ADEGAN TERAKHIR DRAMA MENGAPA KAU CULIK ANAK KAMI : IBU TERKULAI DI
KURSI SEPERTI ORANG MATI. PINTU, JENDELA, TELEVISI, TELEPON, PERABOTAN, BUKU,
CANGKIR TEH, DAN LAIN-LAIN MASIH SEPERTI DULU—TETAPI WAKTU TELAH BERLALU
SEPULUH TAHUN. MUSIK YANG TERAKHIR KALINYA DALAM DRAMA ITU KINI MENGAWALI
MONOLOG INI. BAPAK SUDAH MENINGGAL DUNIA, TINGGAL IBU KINI DI RUANG KELUARGA
ITU, MASIH TERKULAI SEPERTI SEPULUH TAHUN YANG LALU. RAMBUT, WAJAH, DAN BUSANANYA
MENUNJUKKAN BETAPA SEPULUH TAHUN TELAH BERLALU.
MUSIK FADE OUT
TERDENGAR DERING TELEPON, MIRIP TELEPON KABEL, TETAPI JELAS DARI
TELEPON GENGGAM IBU YANG TERGELETAK DI MEJA. IBU YANG TERTIDUR TAMPAK BERGERAK
KARENA TELEPON YANG BERBUNYI, TETAPI SAMPAI TELEPON GENGGAM TAKBERBUNYI LAGI,
IBU TAKJUGA TERBANGUN.
TELEPON GENGGAM BERDERING UNTUK KEDUA KALINYA, DAN IBU BERGANTI POSISI
LAGI KARENA ITU, BAHKAN KEMUDIAN TERBANGUN, TAPI TIDAK LANGSUNG MENYAMBAR
TELEPON. AGAK BENGONG SEJENAK, SEBELUM AKHIRNYA MELANGKAH KE TELEPON KABEL,
SEPERTI TIDAK TERLALU PEDULI. KETIKA DIANGKATNYA, BARULAH IA TERSADAR BAHWA
YANG BERBUNYI SEPERTI TELEPON KABEL ITU SEBETULNYA TELEPON
GENGGAM. DITARUHNYA TELEPON KABEL, DAN MELANGKAH LAGI MENUJU TELEPON GENGGAM.
SAAT DIPEGANGNYA TELEPON GENGGAM ITU, DERINGNYA SUDAH BERHENTI. IBU BERDECAK
KESAL, ENTAH KARENA DERING ITU BERHENTI, ENTAH KARENA MENDAPAT TELEPON. NAMUN
IA TETAP BERUSAHA MENGETAHUI SIAPA YANG MENELEPON, DENGAN MEMPERHATIKAN LAYAR
TELEPON GENGGAM ITU. LANTAS TELEPON GENGGAM ITU DILETAKKANNYA KEMBALI KE MEJA.
IBU(sambil melakukan sesuatu di ruangan itu)
Hmmh. Ibu Saleha, ibunya Saras
yang dulu jadi pacar Satria. Sekarang apapun yang terjadi dengan Saras
dibicarakannya sama aku, seperti Saras itu punya dua ibu. Dulu almarhum Bapak
suka sinis sama Ibu Saleha, karena seperti memberi tanda kalau Saras itu
tentunya tidak bisa terus menerus menunggu Satria. “Orang hilang diculik kok
tidak mendapat simpati,” kata Bapak. Kenyataannya selama sepuluh tahun Saras
tidak pernah bisa pacaran sama siapapun. “Saya selalu teringat Satria, Ibu,
saya tidak bisa,” katanya.
Hhhh. Satria, semoga dia tahu
betapa besar cinta Saras itu kepadanya, meski ibunya itu selalu saja mau
menjodohkan Si Saras itu. Ya, sama eksekutiflah, sama pengusaha kayalah, sama
asisten menterilah, sama anggota DPR-lah, hiiiii…
(menunjukkan rasa jijik),
ujung-ujungnya jalan sama anak
LSM juga. Tentu, bukan LSM yang bagi-bagi supermi dan baju bekas, tapi
lagi-lagi LSM urusan orang-orang hilang. Bagaimana Si Saras itu bisa melupakan
Satria kalau caranya begitu? “Siapa yang mau melupakan Satria, Ibu, justru
ingatan kepada Satria itulah yang membuat semangat hidup saya menyala,” kata Si
Saras. Tapi itulah persoalan ibunya Saras itu sekarang. Kemarin di telpon ibunya
cerita, “Saras sekarang jalan sama dua orang,” katanya, “selain sama si anak
LSM orang-orang hilang itu, ia juga jalan sama seorang pendaki gunung.” Aduh,
Ibu-ibu ini…
(dengan nada geli campur haru).
Tapi inilah soal yang pernah
kubicarakan sama Si Saras. “Kuhargai cintamu yang besar kepada Satria, sehingga
kamu selalu terlibat urusan orang-orang hilang ini,” kataku, “tapi cinta adalah
soal kata hati, Saras, karena kalau terlalu banyak alasan dan perhitungan dalam
percintaan, nanti tidak ada tempat untuk hati lagi…” Ah, Saras, memang rasanya
ia seperti anakku juga. Semenjak Bapak meninggal setahun yang lalu, rasanya
semakin peduli dia kepada rumah ini, membantu aku membereskan kamar Satria,
seperti tahu betul rasa kehilanganku setelah ditinggal Bapak…
SAAT ITU IBU SUDAH SAMPAI KE KURSI TEMPATNYA DUDUK TADI, DAN DUDUK DI
SITU. IBU TERDIAM, MELIHAT KE KURSI TEMPAT BAPAK BIASANYA DUDUK. LANTAS MELIHAT
KE SEKELILING.
Bapak… Kursi itu, meja itu,
lukisan itu, ruangan ini, ruang dan waktu yang seperti ini, kok semuanya
mengingatkan kembali kepada Bapak. Seperti ini juga keadaannya, bahkan aku
masih ingat juga pakai daster ini ketika kami berbicara tentang hilangnya
Satria. Waktu itu sudah setahun Satria tidak kembali, dan kami masih seperti
orang menunggu. Aku waktu itu masih percaya Satria suatu hari akan kembali…
Kenapa harus tidak percaya, kalau memang tidak pernah kulihat sesuatu yang
membuktikan betapa Satria tidak akan kembali… Apa salahnya punya harapan… Hidup
begitu singkat, apa jadinya kalau harapan saja kita tidak punya… Jadi dalam
setahun itu harapanlah yang membuatku bertahan hidup. Harapan bahwa pada suatu
hari Satria pasti pulang kembali… Berharap dan menunggu. Berharap dan menunggu.
Berharap dan menunggu. Tapi Bapak memaksa aku untuk percaya bahwa Satria sudah
pergi. “Satria sudah mati,” katanya.
(berusaha sangat amat keras untuk menahan tangis).
Ah! Tidak! Aku tidak mau
percaya itu! Meski dalam hatiku sudah terlalu sering kuingkari diriku, bahwa
kemungkinan besar Satria mestinya sudah mati.
(memandang ke arah kursi Bapak)
Pak, Bapak, kenapa kamu
hancurkan semua harapanku? “Kita harus menerima kenyataan,” katamu. Nanti dulu,
Pak. Menerima? Menerima? Baik. Aku terima Satria sudah mati sekarang. Tapi aku
tidak terima kalau Satria itu boleh diculik, dianiaya, dan akhirnya dibunuh.
(IBU tampak kuat kembali)
Bapak sendiri yang bilang, ada
teman Satria yang dibebaskan bercerita: Sebelum dilepas tutup matanya dibuka.
Di hadapannya, orang-orang yang menculiknya itu menggelar foto-foto di atas
meja. Itulah foto-foto keluarga teman Satria yang diculik. Foto orangtuanya,
foto saudara-saudaranya. Lantas orang-orang itu berkata, “Kami tahu siapa saja
keluarga Saudara.” Huh! Saudara! Mana mungkin manusia bersaudara dengan
monyet-monyet! Apalagi maksudnya kalau bukan mengancam kan? Bapak bilang teman Satria ini juga
bercerita, suatu hari salah seorang yang waktu itu mengancam terlihat sedang
memandangi dirinya waktu dia baru naik bis kota. Ini apa maksudnya Pak? Supaya teman
Satria itu tidak boleh bercerita tentang perbuatan mereka? Teror kelas kambing
maksudnya? Apakah ini semua boleh kita terima begitu saja?
(mendadak sunyi, IBU menghela nafas)
Sudah sepuluh tahun. Satria
sudah mati. Bapak sudah mati. Munir juga sudah mati.
(melihat ke arah kursi Bapak lagi)
Apa Bapak ketemu sama Satria
di sana? Enak bener Bapak ya? Meninggalkan aku sunyi sendiri di sini. Apa Bapak
dan Satria tertawa-tawa di atas sana
melihat aku membereskan kamar Satria, menata gelas dan piring, sekarang untuk
kalian berdua, setiap waktu makan tiba, padahal aku selalu makan sendirian
saja. Memang aku tahu Bapak dan Satria tidak ada lagi di muka bumi ini, tapi
apa salahnya aku menganggap kalian berdua ada di dalam hatiku? Apakah kalian
berdua selalu menertawakan aku dan menganggapku konyol kalau berpikiran seperti
itu?
(diam sejenak)
MUSIK FADE IN.
Kadang-kadang aku bermimpi
tentang kalian berdua, tetapi kalau terbangun, aku masih juga terkenang-kenang
kalian berdua, dengan begitu nyata seolah-olah kalian tidak pernah mati.
Impian, kenangan, kenyataan sehari-hari tidak bisa kupisahkan lagi. Jiwa terasa
memberat, tapi tubuh serasa melayang-layang.
(nada dan gaya percakapan berubah, juga bahasa tubuhnya)
Jauh, jauh, ke langit,
mengembara dalam kekelaman semesta, bagaikan jiwa dan tubuh telah terpisah,
meski setiap kali tersadar tubuh yang melayang terjerembab, menyatu dengan jiwa
terluka, luka sayatan yang panjang dan dalam, seperti palung terpanjang dan
terdalam, o palung-palung luka setiap jiwa, palung tanpa dasar yang dalam
kekelamannya membara, membara dan menyala-nyala, berkobar menantikan saat
membakar dunia…
MUSIK FADE OUT
(kaget sendiri, berbisik
tertahan, memegang kepalanya, menutupi wajahnya)
Ah ! Ya ampun! Jauhkan
aku dari dendam!
(jeda, tangannya, menengadah kembali)
Tapi…. bagaimana mungkin aku
merasa perlu melupakan semuanya, jika kemarahanku belum juga hilang atas
perilaku kurangajar semacam itu.
(bernada dingin)
Menculik anak orang dan
membunuhnya… Hmmh. Apakah setiap orang harus kehilangan anggota keluarganya
sendiri lebih dulu supaya bisa sama marahnya seperti aku?
(jeda, lantas nadanya berubah lagi)
Bapak… aku yakin dia ada di
sana, karena kusaksikan bagaimana dia dengan tenang meninggalkan dunia yang
fana; tetapi aku tidak bisa mendapatkan keyakinan yang sama jika teringat
kepada Satria. Memang akalku tidak bisa berpikir lain sekarang, bahwa Satria
tentu sudah tidak ada. Tetapi Ibu mana yang kehilangan anak tanpa kejelasan
bisa tenang dan bahagia hanya dengan akalnya, tanpa membawa-bawa perasaannya?
Bagaimana perasaanku bisa membuatku yakin, jika Satria pada suatu hari memang
hilang begitu saja? Ya
(tangannya menambah tekanan)
begitu saja… Bahkan orang mati
saja masih bisa kita lihat jenazahnya!
(memandang ke arah kursi)
Pak, Bapak, apakah Bapak
melihat Satria di sana Pak? Apakah Bapak ketemu Satria? Apa cerita dia kepada
Bapak? Apakah sekarang Bapak sudah tahu semuanya? Apakah Bapak sekarang sudah
mendapat jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan kita?
(mengalihkan pandang dari kursi)
Ah! Bapak! Dia sudah tahu
semuanya! Tapi aku? Aku tentunya juga harus mati lebih dulu kalau ingin
tahu semuanya! Tapi aku masih hidup, dan aku masih tidak tahu apa-apa. Hanya
bertanya-tanya. Mencoba menjawab sendiri. Lantas bertanya-tanya lagi.
Dulu aku bisa bertanya jawab
dengan Bapak. Sekarang aku bertanya jawab sendiri.
Hhhh…
(jeda)
Tapi apa iya aku sendiri? Apa
iya aku masih harus merasa sendiri jika begitu banyak orang yang juga
kehilangan? Waktu itu, ya waktu yang seperti takpernah dan takperlu berlalu
itu, bukankah ratusan ribu orang juga hilang seketika?
(berubah nada)
Bapak, kadang aku seperti
melihatnya di sana, di kursi itu, membaca koran, menonton televisi, memberi
komentar tentang situasi negeri. Seperti masih selalu duduk di situ Bapak itu,
pakai kaos oblong dan sarung, menyeruput teh panas, makan pisang goreng yang
disediakan Si Mbok, lantas ngomong tentang dunia. Tapi Si Mbok juga sudah
meninggal, menyusul Bapak, menyusul teman-temannya pemain ludruk yang semuanya
terbantai dan mayat-mayatnya mengambang di Kali Madiun…
(jeda)
Sebetulnya memang tidak pernah
Bapak itu membicarakan Satria, malah seperti lupa, sampai setahun lamanya,
sebelum akhirnya mendadak keluar semua ingatannya pada suatu malam entah karena
apa.
Sudah sepuluh tahun, banyak
yang sudah berubah, banyak juga yang tidak pernah berubah. Bagiku Satria
masih selalu ada. Tidak pernah ketemu lagi memang. Tapi selalu ada. Memang lain
sekali Satria dengan kakak-kakaknya. Dua-duanya tidak mau pulang lagi dari luar
negeri, datang menengok cuma hari Lebaran. Yang sulung Si Bowo jadi pialang
saham, satunya lagi Si Yanti jadi kurator galeri lukisan, kata Bapak dua-duanya
pekerjaan ngibulin orang.
“Ya enggaklah kalau ngibul,”
kataku, “apa semua orang harus ikut aliran kebatinan seperti Bapak?”. Biasanya
Bapak ya cuma cengengesan. Dasar Bapak. Ada
saja yang dia omongin itu.
Aku sendiri rasanya juga sudah
mulai pelupa sekarang. Susah rasanya
mengingat-ingat apapun. Belakangan sebelum meninggal Bapak juga mulai pikun.
Lupa ini-itu. Kacamata terpasang saja dicarinya ke mana-mana (geli sendiri).
Tapi ia tidak pernah lupa tentang Satria. Ia selalu bertanya, “Seperti apa
Satria kalau masih hidup sekarang?”, atau “Sedang apa ya Satria di sana?”, atau kadang-kadang keluar amarahnya: “Para penculik itu pengecut semuanya! Tidak punya nyali
berterus terang! Bisanya membunuh orang sipil tidak bersenjata,
sembunyi-sembunyi pula!”
Bapak, kenapa kamu tidak
pernah muncul dalam mimpiku untuk bercerita tentang Satria? Pasti Satria
menceritakan semua hal yang tidak diketahui selama ini, bagaimana dia
diperlakukan, dan apa sebenarnya yang telah terjadi.
MUSIK FADE IN
(dengan tekanan baru, melankolik, sedih, dan berat)
Kenapa kamu tidak
sekali-sekali muncul Bapak. Muncul dong sekali-sekali Bapak. Duduk di kursi itu
seperti biasanya.
Memang kamu selalu muncul
dalam kenanganku Pak, bahkan juga dalam mimpi-mimpiku, tetapi kamu hanya muncul
sebagai bayangan yang lewat. Hanya lewat, tanpa senyum, seperti baru menyadari
betapa kenyataan begitu buruk.
Duduklah di situ dan ceritakan
semuanya tentang Satria.
Ceritakanlah semua rahasia.
MUSIK FADE OUT
(jeda, menghadap penonton, tapi tetap bicara untuk dirinya sendiri)
Kursi itu tetap kosong.
Seperti segalanya yang akan tetap tinggal kosong.
Apakah semua ini hanya akan
menjadi rahasia yang tidak akan pernah kita ketahui isinya? Rahasia sejarah.
Rahasia kehidupan. Tapi ini bukan rahasia kehidupan yang agung itu. Ini suatu
aib, suatu kejahatan, yang seandainya pun tidak akan pernah terbongkar….
TELEPON GENGGAM IBU BERDERING. IBU SEPERTI TERSADAR DARI MIMPI. IBU MENGAMBIL
TELEPON GENGGAM.
Pasti ibunya Saras lagi.
(setelah melihat layar telepon genggam itu)
Eh, malah Si Saras.
(menaruhnya di telinga)
Ya, hallo…
SETELAH MENDENGARKAN APA YANG DIKATAKAN SARAS, TELEPON GENGGAM ITU
TERLONCAT DARI TANGAN IBU YANG TERKEJUT, SEOLAH TIBA-TIBA TELEPON GENGGAM ITU
MENYETRUM.
IBU MENGHADAP PENONTON
Gila! Para
pembunuh itu sekarang mau jadi presiden!
LIGHTING BLACK OUT.
MUSIK MENGHENTAK MASUK.
MUSIK FADE OUT.
LIGHTING FADE IN.
PEMERAN IBU MENGHORMAT
PENONTON.
SELESAI.
Kampung Utan, Senin 27 Oktober
2008. 18:45,
#naska #monolog # teater # indonesia # kebudayaan
Comments