Skip to main content

Naskah Monolog EPISODE DAUN KERING ADAPTASI DARI CERPEN KARYA LARSI DE ISRAL oleh Zulfikri Sasma

















Naskah Monolog
EPISODE DAUN KERING
ADAPTASI DARI CERPEN KARYA LARSI DE ISRAL
oleh Zulfikri Sasma















PANGGUNG ADALAH RUANGAN KOSONG YANG HANYA DI ISI OLEH SEBUAH BANGKU PANJANG YANG TERBUAT DARI KAYU. LAMPU PANGGUNG TAMPAK TEMARAM. SARJUN, SEORANG LELAKI MUDA (KIRA-KIRA BERUSIA 24 TAHUN) DENGAN MENYANDANG SEBUAH RANSEL DI PUNGGUNGNYA, TAMPAK MELANGKAH LEMAS MEMASUKI PANGGUNG. RIBUAN RASA KECEWA MENGHIAS DI WAJAHNYA. LELAKI ITU KEMUDIAN DUDUK DI ATAS BANGKU DAN MENARUH RANSEL DI SAMPINGNYA. IA TERTUNDUK LESU DAN KEMUDIAN MENGANGKAT WAJAHNYA.

Saudara-saudara, sampai hari ini, saya masih mempercayai Tuhan dengan segala skenario-Nya. Pergantian siang dan malam. Kehidupan dan kematian. Untung dan rugi. Marah dan cinta. Di dalam semua itu kita melingkar, menjalar bahkan kadang terpaku tanpa daya. Beragam kisah dilakoni dengan bermacam rasa yang terkadang menjelma benang kusut. Dibutuhkan kesabaran untuk mengurainya. Dan, manakala kesabaran yang kita miliki kian menipis atau sama sekali sirna, adakah orang lain akan datang menawarkan pertolongan? Memberi kesejukan pada pikiran dan perasaan seperti benang kusut?

Teramat berat bagi saya untuk berbagi kisah ini.  Kisah yang saya sebut sebagai episode daun kering!

SARJUN TERTUNDUK, KECEWA BERKECAMUK DI DADANYA. TAK LAMA, IA KEMBALI MENGANGKAT WAJAHNYA DAN MELANJUTKAN UCAPANNYA.

Bukan! Bukan karena menyangkut sisi hidup saya yang gelap, bukan saudara-saudara! Akan tetapi, hal ini melibatkan keluarga saya yang tinggal dua orang: Papa dan Alpin, adik saya…

SARJUN MERUBAH POSISI DUDUKNYA, MEMANDANG LANGIT, TATAPANNYA KOSONG.

Sejak kematian ibu, saya melanjutkan kuliah di Padang sedang Alpin kuliah di Medan. Sejak itulah Papa tinggal sendiri di Payakumbuh. Saya mengerti benar makna kesepian bagi orang seusia Papa. Karena itu saya mengunjunginya tiap bulan. Alpin pun saya kira begitu. Namun karena Medan dan Payakumbuh terbentang jarak yang tidak dekat, maka ia hanya pulang tiap liburan semester.

Tetapi saudara-saudara, kepulangan saya kali ini, sungguh-sungguh membuat saya hampir putus asa! Betapa tidak? Baru saja saya sampai di teras depan rumah, tiba-tiba saya mendengar teriakan “tidak” yang sangat begitu keras. Saya yakin, itu adalah suara Papa. Saya jadi tertegun mendengarnya, lalu mengintipnya lewat lubang kunci.

SARJUN BERANJAK DARI TEMPAT DUDUKNYA, BERDIRI DAN MELANGKAH KE DEPAN PANGGUNG SAMBIL TERSENYUM MENGEJEK

Saudara-saudara, saudara-saudara tahu apa yang saya lihat? Sungguh di luar dugaan, saya menyaksikan Papa berdiri disamping meja telepon dengan kepala tertunduk dan wajah kuyu! Sempoyongan ia menuju sofa. Kecewa, marah, sedih dan entah makna apa lagi yang dapat dibaca dari raut wajahnya.

Kesal, lelaki itu kembali duduk di bangku

Heran, tidak mungkin Papa begitu! Tidak mungkin! Papa saya bukan lelaki yang rapuh. Ia lelaki paling tegar yang pernah saya kenal. Ia cerdas meski terkadang sangat egois. Masih terlalu jelas dalam ingatan saya ketika ia memutuskan berburu babi sebagai olahraga pengisi kesendiriannya.

Sarjun kembali menatap langit. Kali ini tatapannya tajam.

Waktu itu papa duduk di sofa. Ia membaca Koran, kelihatan santai, saya datang dan mengambil tempat di sofa lain.

Oke! Silahkan Papa buru babi. Tapi, membeli anjing? Apalagi seharga dua juta lebih? Saya tidak setuju! Itu haram, Pa!

Hehehehe… jika tidak dibeli Papa dapat anjing dari mana? Mana ada anjing kurap yang bisa buru babi? Atau anjing jadi yang dibagi-bagi secara gratis? Nak, membeli anjing itu tidak apa-apa asal tujuannya baik. Nah, menyelamatkan tanaman petani dari hama babi kan perbuatan mulia? Banyangkan babi-babi yang temok itu diburu dengan anjing kurap, heh, heh… ia akan tetap merdeka melahap tanaman petani. Dan, petani tidak akan makan, kamu rela petani mati kelaparan?

Tapi Tuhan tidak pernah menghalalkan sesuatu dari yang haram

Bukan Tuhan namanya kalau sekaku itu. Bukankah kamu sering bilang: adh-dharuratu tunbihul mahzhurat?

Apakah kondisi seperti itu sudah darurat?

Menurutmu, keselamatan manusia bukan ukuran darurat?

Anjing adalah anjing. Babi adalah babi. Najis tetap najis dan haram tetap haram!

Tuhan itu cerdas, nak. Ia tidak akan ciptakan tanah kalau memang kita dilarang menyentuh benda bernajis. Hehehehe…

KESAL SARJUN SEPERTI MEMUNCAK. IA BERDIRI DAN MELANGKAH MENUJU BELAKANG BANGKU

Bah! Banyak sekali alasan Papa untuk membenarkan keinginan dan perbuatannya.

SARJUN MENGGELENG-GELENGKAN KEPALANYA

Nah, saudara-saudara, bukankah apa yang saya saksikan di rumah tadi tidak masuk akal?
Seseorang yang selama ini tegar tertunduk lesu dan kuyu? Ini tidak masuk akal!
Apalagi setelah itu saya lihat Papa menangis! Menangis? Papa menangis? Heh? Tiba-tiba saya dorong daun pintu yang ternyata tidak terkunci. Papa terkejut melihat kedatangan saya. Segera Papa memburu saya. Lalu saya dipeluknya erat-erat. Begitu erat saudara-saudara!

SARJUN BERHENTI SEJENAK. IA KEMBALI DUDUK DAN KEMUDIAN MENUNDUK DENGAN KEDUA TANGAN MENUTUP WAJAH. KEADAAN JADI HENING. LAMA IA BARU BERSUARA, TAPI KALI INI SUARANYA SERAK. MATANYA KELIHATAN BASAH.

Dalam pelukan saya, tangis papa tiba-tiba tumpah. Saya jadi kikuk. Setelah agak lama, Papa saya ajak duduk. Papa masih menangis terisak-isak. Saya tinggalkan Papa di sofa, dan mengambil segelas air putih ke belakang.
Papa menangis? Sungguh tak masuk akal.

SARJUN DIAM SEBENTAR, MENGHAPUS AIR MATA YANG MENETES DI PIPINYA. BERDIRI LALU BERGERAK KE DEPAN PANGGUNG.

Sampai malam itu, saya masih menganggap Papa sosok yang tegar, tidak rapuh apalagi cengeng. Saya punya banyak alasan untuk anggapan ini.
Pernah suatu ketika saya iseng-iseng mengikuti papa buru babi. Maksud saya untuk menemukan sebuah titik lemah sehingga Papa berhenti membeli anjing yang konon didatangkan dari Jawa. Tetapi yang saya temukan bukan titik lemah, melainkan noda hitam yang dicapkan kepada Papa. Ah, saya tidak tahu bagaimana mengatakan bagian ini. Papa ternyata seorang kriminal! Di hutan itu ia menanam ganja. Dan, buru babi rupanya hanya kedok buat mengelabui saya!

Ketika itu saya ingin lari ke tempat tak bernama dan entah dimana. Saya bingung. Tetapi darah muda saya berkata lain. Lawan! Ya, saya mesti melawan! Saya ambil beberapa helai daun jahanam yang tengah di jemur oleh anak buah Papa untuk saya linting. Saya kemudian mencari Papa.

Saya temukan Papa sedang merintih kesakitan, katanya diseruduk babi hutan. Ia hanya merintih, tidak menangis. Rasa iba tiba-tiba menjalar di dada saya, namun rasa benci telah meruang. Iba tiba-tiba tehalau oleh benci.
Seperti tidak tejadi apa-apa, saya menyalakan lintingan tadi, menghisapnya dalam-dalam dan menghempuskan asapnya ke arah Papa. Papa mencari-cari bau, lalu berdiri dan mengayunkan tamparan keras ke arah saya.

Buang! Buang kataku! Aku menanam ganja-ganja itu bukan untuk anak-anakku. Melainkan untuk anak-anak orang lain. Aku hanya butuh uang untuk-anak-anakku!

Hmmm, aku bangga jadi anak orang yang tidak memikirkan anak-anak orang lain. Aku bangga! Aku bangga Pa!

SARJUN KEMBALI TERDIAM DAN DUDUK DI BANGKU KAYU. KEADAAN KEMBALI HENING.

Saudara-saudara, sekarang Papa menangis, terisak-isak. Betul-betul tidak masuk akal. Saya lalu menaruh segelas air putih di atas meja dan mempersilahkan Papa untuk meminumnya.  Tetapi Papa tetap saja terisak-isak bersama tangisnya. Tiba-tiba, Papa menyebut-nyebut nama Alpin. Tentu saja saya terkesiap olehnya. Alpin? Ada apa dengan Alpin? Saya jadi bingung saudara-saudara! Heran!

SARJUN KEMBALI MENUNDUK, IA SEPERTI MENAHAN EMOSINYA

Saudara-saudara, ternyata yang menyebabkan Papa saya menangis terisak-isak adalah karena Alpin. Alpin adik saya. Ia di tahan polisi. Alpin tertangkap basah menghisap daun jahanam itu. Daun yang ditanam orang lain yang tidak rela anaknya menghisap ganja!
Mendengar itu saya betul-betul kesal! Saat itu juga, saya ambil ransel dan segera melangkah menuju pintu. Waktu itu saya dengar suara papa memanggil nama saya, tapi tak lagi saya hiraukan. Saya muak! Sungguh-sungguh muak!

SARJUN MAKIN MENUNDUK, EMOSINYA BETUL-BETUL MEMUNCAK, SETELAH MERASA REDA, BARULAH IA ANGKAT KEPALANYA

Begitulah saudara-saudara, saya terpaksa kembali ke Padang malam itu juga. Saya tak sanggup menghadapi kenakalan orang tua seperti itu. Apalagi orang tua itu Papa saya sendiri. Telah saya putuskan untuk tidak menemui Papa lagi. Bahkan mungkin di hari pemakamannya kelak, saya takkan hadir. Saya tak bisa memberinya maaf. Saya tak bisa. Tetapi…hah…entahlah. Mungkin suatu ketika saya bisa. Mungkin… sebab, sampai saat ini saya masih mempercayai Tuhan dan segala skenariomya.

SARJUN BERDIRI, MENYANDANG RANSELNYA KEMUDIAN BERJALAN KELUAR PANGGUNG. BEBANNYA BERAT

SELESAI
 #naskah # teater # monolog # indonesia # kebudayaan

Comments

Popular posts from this blog

Monolog Balada Sumarah Karya Tentrem Lestari

Monolog Balada Sumarah Karya Tentrem Lestari SIANG ITU MATAHARI MEMBARA DI ATAS KEPALA.   DI SEBUAH SIDING PENGADILAN TERHADAP SEORANG PEREMPUAN YANG TERTUDUH TELAH MELAKUKAN PEMBUNUHAN TERHADAP MAJIKANNYA, AKU SEPERTI DIDERA UCAPANNYA.   SEPERTI DILUCUTI HINGGA TANGGAL SELURUH ATRIBUT PAKAIAN BAHKAN KULIT-KULITKU.   PEREMPUAN ITU, BERNAMA SUMARAH, TKW ASAL INDONESIA.   DINGIN DAN BEKU WAJAHNYA.   DAN MELUNCURLAH BAIT-BAIT KATA ITU : Dewan Hakim yang terhormat, sebelumnya perkenankan saya meralat ucapan jaksa, ini bukan pembelaan.   Saya tidak merasa akan melakukan pembelaan terhadap diri saya sendiri, karena ini bukan pembenaran.   Apapun yang akan saya katakana adalah hitam putih diri saya, merah biru abu-abu saya, belang loreng, gelap cahaya diri saya.   Nama saya Sumarah.   Seorang perempuan, seorang TKW, seorang pembunuh, dan seorang pesakitan.   Benar atau salah yang saya katakana menurut apa dan s

Monolog KAUS KAKI BOLONG

Monolog KAUS KAKI BOLONG Karya Hermana HMT PANGGUNG TERASA MAGIS. SUASANA DIBANGUN OLEH BUNYI ALAT MUSIK GESEK YANG DIPADU DENGAN SUARA ORANG-ORANG BERGUMAM. DI TENGAH PANGGUNG TAMPAK SATU SOSOK TUBUH TERBARING KAKU, TERTUTUP KAIN BATIK SEPERTI MAYAT DAN DI BELAKANGNYA BERDIRI SEBUAH KURSI LIPAT. NGIGAU Ini bukan salahku ! Aku tidak tahu menahu soal itu. Sungguh ! Tidak. Tidak! Jangan pandangi aku seperti itu. Aku…aku.. ahhh ! LAKI-LAKI ITU BERDIRI. IA MENATAP KE SEGALA PENJURU, YANG MANA TIAP LIRIKANNYA CUKUP PELAN DAN MENGANDUNG MISTERI Kenapa kalian pandangi aku seperti itu ? Jangan asal, ya ! Memangnya aku ini apa ? Aku bukanlah barang antik yang suka di pajang di etalase-etalase, atau bintang film murahan koliksi para cukong, apalagi doger monyet yang sering ngamen di pasar malam ! Oh, barang kali kalian suka sama aku. Suka, ya ? Heh ! Tidak ? Ah suka. Jangan munafik deh. Tu kan…tu kan suka. MELUDAH Pu

Naskah Monolog B A H A Y A Karya Putu Wijaya

Monolog B A H A Y A Karya Putu Wijaya DUDUK DI KURSI MEMAKAI SELIMUT PUTIH, HABIS CUKUR. CAMBANGNYA MAU DI KEROK.             Ketika tukang cukur menghunus pisau untuk meratakan godek, aku tersentak. Aku baru menyadari bahwa kehidupan berbahaya. Dunia manusia sama buasnya dengan rimba raya. Mengancam. Di mana-mana menganga bahaya. Siapa yang dapat menjamin tukang cukur itu tidak hanya akan merapikan godek dan jenggot kita. Bagaimana kalau dia menorehkan pisah itu ke leherku? BERDIRI, MENGHINDARI BAHAYA. Kita tidak boleh mengambil resiko untuk potong rambut di sembarang tempat. Karena berhubungan dengan tukang potong rambut yang tak dikenal, setiap saat bisa berarti memotong leher. Bahkan dengan tukang cukur yang sudah dikenal pun selalu ada bahaya. Bagaimana kalau pisau yang terhunus di tangannya itu menimbulkan inspirasinya, memanggil kenang-kenangannya kepada perasaan marah, jengk