Monolog
K E P A L A
Putu Wijaya
Ketika
pesawat Singapore Air Lines dari Malaysia mendarat di bandara Singapura, aku
terkejut. Astaga, kepalaku ketinggalan. Mungkin di kamar kecil.
Aku
jadi panik. Aku amat-amati diriku. Seluruh jasmaniku sehat. Pakaianku beres,
aku pantas duduk di kelas eksekutif seperti yang ditentukan panitia yang
mengundanghku. Dan para penumpang lain kelihatan tenang. Kepala mereka semuanya
masih bertengger dengan baik di atas lehernya.
Bagaimana
mungkin aku akan belanja kalau kepalaku ketinggalan. Maksudku bukan topi, tapi kepalaku
yang beneran ketinggalan. Aku yakin. Makanya aku bilang kepala. Bukan kepala
boneka. Batok kepalaku sendiri!
Itu
bukan kata-kata sandi. Untuk apa kata-kata kiasan? Sekarang jaman blak-blakan.
Kepalaku yang ketinggalan. Kalau tas, sepatu atau celana dalam, masih bisa
diatasi untuk sementara. Tapi kepala?
Di
luar pesawat kusamperi petugas bandara.
Sorry,
bisa menolong, saya ketinggalan kepala.
Petugas
itu terkejut. Ia memandangku. Lalu tiba-tiba berteriak.
Maaaaak!
Orang ini tak punya kepala!!!!'
Aku
tak yakin benar apa yang aku dengar. Tapi aku kira seperti itu. Itulah yang
kudengar. Sulit membuktikan apa sebenarnya yang dikatakannya. Aku tak mungkin
menanyai semua orang. Kecuali memang semua orang terkejut dan memandangku.
Sebelum peristiwa itu menjadi kerusuhan yang mengundang polisi, aku langsung
minta maaf dan cepat-cepat pergi dari petugas sialan itu.
Untunglah
semuanya kemudian bisa dibereskan. Tanpa membuat keonaran.
Di
dekat gate 91, sambil menunggu waktu boarding, aku termenung. Aku menyesal
mengapa tidak bersabar. Lain-lain bangsa rasa humornya beda-beda. Petugas itu
pasti mengira aku ingin menggodanya tadi. Kalau dia keren sih mendingan. Tapi
gembrot seperti itu, aku sudah jatuh merek di depan banyak orang. memang tidak
ada yang kenal siapa aku. Tapi nama Indonesia bisa ternoda. Ini tidak baik pada
saat Visit Indonesia Year. Mereka pasti tahu aku orang Indonesia. Kulitku
coklat. Mataku tidak sipit. Dan aku menuju ke Jakarta. Aku bisa digebrak
Menteri Parawisata sebab membuat citra buruk.
Bagus
kamu godain si gembrot itu tadi, tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan di
dekatku. Aku juga muak dengar mulutnya. Kepala boleh dibawa naik kapal terbang,
tapi mulut kagak usah dibuka lebar-lebar mengganggu tetangga. Emangnya kapal
terbang itu rumah mbahnya!
Yang
menegurku itu setengah tua. Ia membawa banyak bungkusan seperti baru keluar
dari super market. Ia terus saja ngomel tentang kelakuan petugas bandara tadi.
Aku rasa dia orang Indonesia. Dandanannya seperti orang-orang kaya di bilangan
Menteng.
Anda
mau ke Jakarta?
Ya.
Tapi coba saja. Masak dia bilang Jakarta itu lebih kumuh dari New York. Kumuh
sih kumuh, mana ada kota besar tidak kumuh. Tapi right or wrong kan my country
juga. Tapi dia tidak kasih kesempatan ike kasih argumentasi. Dia nyerocos saja
terus. Masak dia bilang Aids itu bisa menular karena gigitan nyamuk.
Jelek-jelek begini partner ike kan Phd dari Yale. Tapi dia juga tidak mau
dengar, dia terus saja ngomong. Mau gebukin rasanya kepalanya itu. Apa saja sih
isinya. Orang mana dia. Baguslah you kerjain tadi. Mestinya dia tinggal saja
kepalanya di rumah. Eh Bung ini juga mau ke Jakarta ya? Itu lho masak jalan
layang di Gatotsubroto bisa macet. Kemaren misoa saya mau mau sidang, ya
jelek-jelek juga anggota MPR, tapi jadi telat gara-gara jalanan macet. Kasihan rakyat
yang memilihnya sudah menunggu keputusam.
Orang
terus bicara. Aku tak sanggup lagi mendengarnya. Lalu kubiarkan kepalaku
berjalan-jalan. Bisa meledak otakku kalau menyimpan semua muntahannya. Sebentar
lagi aku akan memasuki ibukota yang panas, penuh nyamuk, macat dan penuh
persaingan. Aku tak mau buru-buru gerah. Aku masih ingin istirahat.
Kutelusuri
ruang bandara yang baru itu. Aku masih ingat apa komentar Bambang. Tata
ruangnya begitu bagus, sehingga meskipun begitu banyak orang yang semuanya bergerak
cepat, tapi tak terasa penuh. Kebersihannya juga membantu. Barangkali juga
bangunannya yang modern memang tidak membuat rasa sumpek seperti Bandara
Soekarno-Hatta. Ini memang soal selera.
Aku
nonton coklat-coklat yang harganya puluhan dollar. kemudian barang-barang
elektronik. Juga souvenir-souvenir kecil, yang akan dibeli orang dengan
bergairah karena nampak berharga. tetapi sampai di rumah, baru satu hari
sinarnya layu. sama seperti barang souvenir lainnya. Kalau berkelompok dan
dalam suasana berbelanja ia baru bagus. Kembali aku ingin marah dengan dunia
dagang. Aku makin merasa lagi itu sebagai usaha tipu-menipu.
Tepat
saat boarding. Terdengar suara wanita memanggil penumpang yang akan berangkat
ke Jakarta untuk masuk ke gate 91. Semua orang yang berkepentingan berdiri
mengangkat bawaannya, masuk ke gate.
Aku
sendiri agak gelagapan. Aku angkat tas kulit dan tas plastikku yang berisi
buku-buku. Tapi masih belum berani beranjak. Kepalaku entah masih di mana.
Kalau aku pergi nanti dia bingung mencari. Jadi terpaksa aku siap saja di situ.
Orang-orang sudah mulai masuk, memenuhi ruangan gate 91.
Hampir
setengah jam aku menunggu. Tapi kepalaku belum kembali. Jangan-jangan di
tersangkut di salah satu toko. Atau terkunci di kamar kecil. Atau naksir penumpang
lain. Bagaimana pun, aku mulai cemas. Suara panggilan supaya penumpang masuk
sudah diulangi. Aku mulai cemas.
Dengan
ragu-ragu aku mendekati pintu masuk.
Silakan
kata petugas sambil mengulurkan tangan hendak melihat boarding pass yang ada di
tangan kananku.
Sebentar,
kepala saya masih ketinggalan.
Tapi
lima menit lagi Anda harus masuk.
Kalau
kepala saya masih di situ, bagaimana?
Ke
mana dia?
Tadi
jalan-jalan sebentar ke situ.
Oke
coba lihat passport Anda.
Aku
memberikan passportku. Ia masuk dan membuat panggilan.
Kepala
tuan PW harus kembali. Pesawat sebentar lagi akan berangkat. Anda ditunggu.
Harap segera masuk ke dalam gate 91.
Tapi
sampai waktu take off, kepalaku belum kembali. Aku mulai panik.
'Tenang
saja, kata awak kapal, nanti kami kirimkan pakai pesawat berikutnya. Asal Anda
simpan baik-baik ''claim''nya, nanti Anda bisa tunggu di Air Port
Soekarno-Hatta. Berhubungan saja dengan kantor kami di situ.
Dengan
iming-iming seperti itu aku masuk pesawat. Meninggalkan kepalaku di bandara
Changi. Rasanya memang tidak enak. Was-was. Kikuk dan juga sedikit malu. Ketika
pramugari muncul menawarkan makanan, aku hanya menggeleng malu.
Maaf
tidak bisa, bukannya tidak mau, kepala saya ketinggalan.
Ia
mengangguk maklum. Memang sering begitu, katanya dengan senyum manis. Kami
punya serep kepala, untuk para penumpang yang seperti Anda, barangkali mau
mencobanya?
Masak?
Kalau
Anda mau, saya bisa mengambilnya sekarang. Ya?
Aku
berpikir.
Apa
tidak ada efek sampingannya nanti?
Pasti
ada sedikit. Daripada Anda lapar? Udang kami enak sekali. Sayang kalau Anda
melewatkan.
Aku
masih bimbang. Wanita itu tersenyum. Aku luluh oleh keramahannya. Apakah ia
selalu ramah seperti itu. Atau hanya untuk orang yang ketinggalan kepala
seperti aku?
Kalau
Anda mau, bilang saja nanti.
Ia
meninggalkanku untuk mengurus penumpang lain yang rupanya sudah tak sabar. Aku
cuma ingin berhati-hati. Sekarang virus aids dan hepatitis B sering masuk ke
tubuh lewat jarum suntik. Bukan tidak mungkin, lewat peminjaman kepala, tubuhku
dapat kiriman virus-virus aneh. Bisa repot nanti,
Tapi
ketika pramugari itu lewat lagi, aku tak dapat menahan diri untuk mengiyakan
tawarannya. Aku sudah terpengaruh oleh senyumannya. Ia mengagguk memintaku
bersabar, seakan-akan ia sudah tahu betul bahwa akhirnya aku kan menerima
tawarannya.
Tak
lama kemudian ia muncul membawa kepala itu. Terbungkus dalam sebuah kotak biru.
Ia membawa seperti membawa earphone buat penumpang yang ingin menikmati film di
udara.
Sorry,
katanya dengan lebih ramah lagi, George kebetulan sedang pilek, jadi mungkin
tak akan bisa menikmati udang. Sedangkan Abdullah kelihatannya mengantuk
sekali. Nanti malah merepotkan. Ini hanya ada Sally. Mau mencoba? Terserah
Anda, kalau mau.
Aku
bingung.
Siapa
George, siapa Abdullah dan siapa Sally?
George
itu orang putih, seleranya makanan Eropa, sebetulnya kalau tidak sakit, pas
buat Anda untuk acara makan ini. Kalau Abdullah, mungkin Anda lebih baik
memilih beef, nanti. Tapi dia juga sedang tidak fit. Sudah beberapa hari ini
seperti mogok, katanya sampai ada kepastian tentang Perang Teluk. Saya anjurkan
ini saja. Si Sally.
Pramugrai
itu membuka kotak dan mengeluarkan sebuah kepala perempuan.
Hallo
Mas, tegur Sally begitu keluar dari kotaknya.
Aku
terperanjat.
Tapi
ini cewek. Masak saya mesti pakai kepala cewek?
Pramugari
itu tersenyum saja, langsung mengenakan Sally padaku. Ia memperlakukan kami
penumpang seperti anak-anak kecil yang nakal.
Aduh
seret, bisik Sally menggoda, tapi nggak apa.
Tapi
Miss ……
Tidak
apa, ini bukan restroom yang ada pembagian ladies dan gentelman. Ini seperti
baju yang mix. Dapat dipergunakan oleh pria dan wanita. Yang penting kan Anda
bisa makan. Bagaimana enak rasanya?
Pramugari
itu mematut letak Sally supaya lebih pas.
Namaku
Sally Field, kata Sally, tapi sebut aku Yulia Robert. Anda kelihatannya lapar
sekali. Kita makan yuk. Beef saja ya? Saya agak bosan dengan udang.
Aku
tak bisa menolak lagi. Pramugari juga sudah meletakan kotak makanan berisi beef
di depanku. Sally langsung membukanya dan meminta anggur putih. Dan aku makan
perlahan-lahan.
Sembari
makan, Sally terus ngajak berembuk.
Anda
terbang sendirian?
Ya.
Belum
bekeluarga?
Belum.
Hmmm,
bohong. Aku bisa membedakan lelaki yang sudah dan belum kawin.
Saya
tidak mengatakan saya belum kawin.
Sally
mencubit.
Nggak
usah bohong. Aku mengerti lelucon Indonesia. Aku banyak bicara dengan orang
Indonesia. Mereka selalu bicara begitu. Bermain antara pengertian kawin dan
menikah. Anda sudah berkeluarga kan?
Aku
tak menjawab.
Oke,
kalau aku boleh tahu. Ngapain kamu ke Malaysia?
Aku
tak menjawab.
Oo,
aku baru tahu kamu termasuk orang yang tak suka ngobrol kalau sedang makan. Ya nggak?!
Betul.
Kalau
begitu silakan makan saja. Tapi nanti boleh dong kita cakap sikit-sikit. Tak
baiklah berjalan tak ada cakap barang sedikit.
Kemudian
Sally diam dan aku dapat kesempatan makan. Agak lain rasanya makan dengan
kepala seorang wanita. Sally mengunyah terlalu lama. Ia juga makan
lambat-lambat. Aku jadi tak sabar, karena tak bisa lagi menikmati iramanya. Apa
artinya makan kalau tidak ada emosi.
Setelah
selesai makan, aku ingin sekali membaca koran. Ingin tahu bagaimana
perkembangan di Teluk. Seluruh dunia sedang menanti dan bertanya-tanya perang
atau damai. Di Kuala Lumpur sejumlah penyair Malaysia menyelenggarakan apa yang
ereka namakan Malam Merpati Putih. Para penyair terkemuka setempat seperti
Usman Awang, beberapa orang lain, aku lupa nama mereka dan sastrawan
negara Samad Said membacakan
sajak-sajaknya. Beberapa di antaranya dinyanyikan dan ditarikan. Mereka
berpihak pada perdamaian.
Tapi
Sally tak setuju. Ia lebih suka aku melihat brosur barang-barang yang dijual di
dalam kapal. Ia malah memilihkan sejumlah minyak wangi yang pantas dibeli,
karena itu tax free. Di darat harganya jauh lebih tinggi, katanya membuat
promosi. Aku tak membantah. Kalau dibantah ia akan senang, karena dapat peluang
untuk ngomong lebih banyak. Aku kenal watak-watak seperti Sally ini.
Sally
jadi kewalahan, karena aku selalu membenarkannya. Lalu ia mulai bercerita
tentang apa yang sudah dilakukan oleh beberapa penumpang dari Indonesia yang
dikenalnya. Cerita itu itu tidak memerlukan bantahan. Sebenarnya cukup menarik
tapi aku tak ingin mendengar. Aku mencoba luput dan tidur. Aku selalu mudah
tidur kalau sedang berada dalam kendaraan yang berjalan.
Nama
pramugari itu ternyata Sally juga. Ia berdarah campuran. Ada Inggris, Cina,
Melayu, India dan Arab. Mukanya yang lonjong dan mancung memancarkan keintiman
timur yang mempesona. Ada campuran kepraktisan, kecerdasan dan kebodohan di
mata dan bibirnya. Itulah yang membuatku terpesona, tidak merasa terancam dan
kemudian menegurnya. Menanyakan siapa namanya.
Lalu
aku sebutkan namaku. Pekerjaanku. Berharap ia tidak lagi menghadapiku hanya
sebagai penumpang biasa. Juga ia tak perlu bersikap ramah dibuat-buat
mentang-mentang bertugas sebagai pramugari. Aku ingin berjumpa sebagai manusia
dengan manusia yang masih beremosi sewajarnya. Dan itu agak sulit. Berarti
indoktrinasi kepramugariannya, kalau boleh kusebut semacam itu, berhasil.
Tetapi
perlahan-lahan, karena usaha yang keras, aku berhasil juga mengendorkan
desiplin itu. Rupanya secara sederhana, manusia sama saja rapuhnya. Ia hanya
mampu menyembunyikan agak lama. Tapi kemudian aku berhasil mengajaknya untuk
makan malam. Aku tanyakan terus-terang, ia ingin makanan kelas satu, atau kelas
kambing. Ia berpikir lama.
Maaf
kita akan segera mendarat, tolong sandaran kursi Anda ditegakkan, tegur Sally
pramugari itu sambil menegakkan sandaran kursiku.
Aku
menurut. Kepala Sally Field alias Yulia Robert sudah diambil. Aku sendirian
kembali. Di jalur kursi sebelah sana, Sally pramugari yang berdarah campuran
itu sedang membantu seorang wanita tua mengakkan kursinya.
Aku
melongok ke luar lewat jendela. Nampak wajah Jakarta. Ternyata gedung-gedung
tidak begitu banyak dibandingkan dengan atap genting merah. Dataran sawah yang
memeluk ibukota itu nampak seperti rawa. Aku rasa Jakarta masih seperti kampung
dari arah udara. Aku tak merasakan ada kebanggaan.
Kepala
Anda sudah ditemukan, nanti akan dikirimkan dengan pesawat berikut. Anda bisa
menunggu di air port. Atau bisa menjempotnya besok, kata Sally menghampiriku.
Cuma bagaimana Anda akan melewati petugas paben? Kami tidak bisa meminjamkan
kepala George atau Abdullah. Aka nada masalah.
O
no problem kataku, orang Indonesia sudah sering pulang dari luar negeri pakai
kepala orang lain. Bahkan tanpa kepala juga sudah banyak. Masalahnya hanya,
saya tak mungkin pulang ke rumah tanpa kepala. Saya kepala keluarga.
Sally
tersenyum sedih menghibur dengan mengerti kecemasanku.
Itulah
sebabnya saya masih tetap berada di bandara menenteng kopor, tak bisa
pulang tanpa kepala. Entah sampai kapan.
Jakarta,
23-1-1991
#naskah # monolog # teateer # kebudayaan# indonesia
Comments