Skip to main content

Naskah Monolog DUA CINTA Karya N. RIANTIARNO






















Monolog
DUA CINTA
Karya N. RIANTIARNO
  



















TAMAN KOTA, PADA SUATU SORE. AS BICARA, SEAKAN IS --SAHABATNYA -- DUDUK DI DEKATNYA. SEPI. BURUNG-BURUNG BERSIAP TIDUR DI SARANG. PADA KENYATAANNYA: AS, ADALAH JUGA IS) 

AS
Tidak. Tidak. Makin lama aku semakin yakin, nasibku jauh lebih baik dibanding nasibmu. Lihat seluruh wujud dirimu! Kamu nampak lebih tua. Padahal umur kita sebaya. Aku yakin batinmu menderita. Salah sendiri, kenapa kamu pilih Sis. Apa dia? Siapa? Apa hebatnya? Kaya? Luar biasa? Jenius? Nol besar. Cuma kantung nasi. Banyak sekali kekurangannya. Dia sama dengan kekurangan. Gampang bosan, dan waktu itu, lontang-lantung. Kantungnya selalu kosong. Bahkan dompet pun dia tak punya. 
Sis parasit. Benalu bagi keluarganya. Dan aku tidak mau menikah dengan lelaki yang jelas-jelas kasih isyarat tak akan mampu bertanggungjawab. Sekali benalu, sulit diperbaiki. Masih begitu ‘kan dia sekarang? Aku tak percaya Sis sudi mengotori tangan, bekerja banting tulang demi keluarga. Sis bukan tipe seperti itu. Dia priyayi, menak, yang mengharapkan segala sesuatunya sudah tersedia di atas baki emas. Tinggal mengunyah seperti kerbau. Lebih gemar bermalas-malasan, tapi maunya selalu dihormati. 
Sis memang ganteng. Arjuna. Rama. Banyak gadis tergila-gila. Mabok kepayang. Lupa diri, tidak peduli, asal bisa selalu dekat. Aku, kamu, Maria, Tuti, Meinar, Dewi, dan masih banyak lagi yang kena jerat kegantengannya. Tapi wajah ‘kan bisa berubah. Sekarang badannya pasti mulai gemuk. Perut buncit, rambut di kepala rontok, menipis, malah mungkin sudah botak dia. Berapa gigi yang copot? Sudah pakai gigi palsu? Jalannya? Kian lamban ‘kan? Pasti berbagai penyakit datang. Darah tinggi, gula, asam urat, rematik, jantung. Entah bagaimana dia di ranjang. Apa masih suka bikin kejutan, dan tiba-tiba menyerang? Atau, sudah tak mampu lagi dia? 

(TERTAWA) 

Jangan tersinggung. Jangan marah. Cuma bercanda. Kami belum pernah saling menyentuh. Mimpi-mimpi remaja cuma kusimpan dalam benak. Jeratmu ternyata jauh lebih ampuh. Sis menyerah, tak berkutik. Sejak itu dia tak mau lagi menengok gadis-gadis lain. Cuma kamu. Aku akui, itulah hari berkabung bagi kami semua. Hari ketika sumpah serapah meledak dan kamu dibenci banyak gadis. Nasib. Takdir. Pernikahan kalian. Sialan. 

Mungkin takdir juga yang mempertemukan kita di sini. Tidak tahu, untuk apa kamu di sini. Tidak tahu juga mengapa aku ke mari. Tapi aku tahu, dulu kalian sering bercintaan di sini. Di bangku ini. Jangan salah sangka, aku tidak pernah mengintip. Cerita itu sudah jadi rahasia umum. Kami sering menggosipkannya dengan hati kesal dan cemburu.

Orang bilang, kalian paling suka diam berjam-jam sambil berpegangan tangan. Duduk rapat. Lalu dia memeluk kamu, membelai rambut kamu, menyentuh pipimu, kamu memejamkan mata dan dia mencium bibirmu. Lalu adegan seperti dalam film-film Barat kalian lakukan. Kamu sogok penjaga taman supaya kalian bisa bebas berbuat mesum, sepuasnya. Kamu jerat Sis di taman ini, dengan cara kasar, taktik murahan. Dan makin sering kamu rayu, semakin erat dia terjerat. Tak mungkin lagi bisa lepas. 

(TERTAWA) 

Ah, untuk apa cerita itu diulang lagi? Tidak ada gunanya. Berapa anakmu sekarang? Sepuluh? Limabelas? Berapa perempuan berapa lelaki? Mirip siapa wajah anak-anakmu? Sis? Kamu? Atau, kalian tidak ada anak sama sekali? Maaf jika dugaanku tadi salah. Harus kuakui, pasti karena cemburu. Mungkin kalian bahagia. Memang, seharusnya kita tetap bersahabat seperti dulu sebelum Sis jadi batu sandungan bagi hubungan kita. Seharusnya kita bisa melupakannya. Harus. Toh masa lalu tidak mungkin kembali. Mana mampu kita mengubah mundur jarum waktu? Mustahil. 

Waktu undangan pernikahan kalian kami terima, jujur kuakui, seketika hati kami luka. Luka paling buruk. Tak ada darah mengucur, tapi sakitnya bukan alang kepalang. Kami merasa kalah, dikhianati, hancur. Kenapa justru kamu? 

Ada yang meraung-raung. Marah. Menangis seminggu. Ada yang langsung pulang kampung karena putus-asa. Maria malah sudah siap-siap gantung diri. Untung ketahuan ibu asrama dan sempat dicegah. Tuti paling parah. Hampir saja otaknya tak bisa disembuhkan. Dia sempat dirawat di rumah sakit jiwa, dan sekarang jadi kembang rumah plesiran di Surabaya. Aku? Aku sakit panas dua bulan. Demam. Mengigau. Menganggap dunia sudah kiamat. 

Heran. Siapa Sis? Mengapa begitu banyak gadis yang patah hati? Apa kelebihannya? Apa bedanya dengan pemuda-pemuda lain? Tapi, aku pun tahu, betapa besar pengaruh cintaku kepada Sis. Dulu, aku sering diganggu keinginan, mencari alamat kalian. Dan kalau sudah ketemu, ingin kubunuh dia. Kucacah-cacah tubuhnya. Kusebar di jalanan, biar jadi makanan anjing. Sudah dia jatuhkan putusan, menandatangani nasib jelek puluhan gadis yang tak berdosa. Apa dia berhak? Sinting. Edan. Setan. Sis tidak punya hak berbuat sekeji itu. Kami sengsara, serasa mati dalam hidup yang merana. Dia nyaman, enak, nikmat, hidup berumahtangga, punya anak, bahagia. Dia tidak peduli apa yang dialami gadis-gadis yang ditinggalkannya. Tidak peduli janji-janji asmara yang pernah dia ucapkan kepada kami. Tidak peduli. 

Kamu pasti tahu, atau paling tidak, merasa, Sis punya hubungan dengan banyak gadis. Dia seperti lalat, menyebar telurnya sembarangan. Dan kami, yang sudah dia buahi, hidup seperti belatung, coba menggapai langit, sendirian, lalu mati begitu saja. Dia ungkap tipuan asmaranya kepada setiap gadis yang tak sadar sudah dibohongi berkali-kali. Bagai ular dia mengigit dan menyesapkan racun di jiwa kami. Kami kena racun cinta Sis. Celakanya, kami rela dipermainkan. Pasrah, percaya saja, dan masih terus menyimpan harapan, mungkin, pada suatu saat, cinta Sis akan datang. Sialan.

Sis mata keranjang, don yuan picisan. Pedagang cinta. Pencipta air mata. Mau menikah denganmu pasti ada maunya. Tapi, mungkin juga kamu yang terpandai memasang tali jerat. Bisa dipahami kalau Sis bertekuk-lutut. 

Kamu bersiasat, menjebloskan Sis ke dalam suatu dilema sehingga dia terpaksa mengambil tanggungjawab itu. Ayo, Is, tidak perlu membantah. Semua tahu. Aku marah kalau kamu menyangkal. Cerita sudah beredar, gosip terlanjur menyebar. Seluruh kota tahu. Kamu sebar kabar, Sis-lah bapak anak yang tengah kamu kandung. Kamu tuntut supaya Sis segera menikahimu. Padahal apa nyatanya? 

Tidak ada bayi dalam kandunganmu, tidak ada kehamilan. Tidak ada alasan untuk bertanggungjawab. Sialan. Sis bisa bebas. Tapi dia tetap memilihmu. Dan waktu Sis akhirnya berikrar di depan penghulu, kamu puas. Taktik kasar, tipuan basi, tapi harus diakui, di tanganmu, masih tetap ampuh. 

Ah, sudahlah. Semua sudah sejarah. Dan nyatanya aku harus bersyukur karena tidak menikahi Sis. Belum tentu bisa kutemukan bahagia. Apalagi jika Sis tetap malas, pengangguran, dan lontang-lantung. Lalu bagaimana nasib anak-anakku? Harus rajin meminta bantuan kepada ayah-ibu dan saudara-saudaraku. Sampai kapan mereka bisa tahan? Lalu, kalau mereka sudah bosan dimintai tolong, kami akan mengemis di jalanan. 

(SEJENAK HENING)    

Mengapa diam saja? Mengapa tidak berterus terang? Aku buta keadaan kalian. Hanya bisa meraba-raba, menduga-duga. Apa betul kalian bahagia? Atau sengsara? Is, bicara! Apa? Bagaimana kondisi keuangan kalian? Sudah punya rumah sendiri? Atau masih kontrakan? Atau kalian menumpang di rumah saudara? Punya mobil? Telepon? Teve? Lemari es? Mesin cuci? Microwave? Punya kolam renang di halaman belakang rumah? Atau kalian cuma peminta-minta? Bicara! Is, bicara! Aku akan mendengarkan saja! 

(MENUNGGU LAMA. TAK SEPATAH PUN JAWABAN) 

Baiklah. Mungkin kamu enggan. Tidak apa. Aku rela cerita lebih dulu, dengan jujur. Tapi janji, sesudah aku, giliran kamu. Dan kamu juga harus cerita semuanya dengan jujur. Begitu? Baik. Aku mulai kisahnya. 

Sesudah kalian menikah, dan aku sembuh, aku berkenalan dengan seorang pemuda. Anak tunggal konglomerat pemilik pabrik besar pengolahan batubara di Kalimantan, juga pemilik hotel-hotel bintang lima di Surabaya dan Jakarta. Kami bercintaan hanya beberapa bulan, kemudian aku dia lamar. Kuterima lamarannya. Hidup selanjutnya sudah bisa kamu tebak. Ya ‘kan? Dia pewaris usaha keluarga. Kami bahagia. Anak lima. Dua lelaki, tiga perempuan. Kini, aku punya semua yang diimpikan perempuan. Rumah besar dan mewah, dengan halaman luas di depan dan belakang. Kebun ditumbuhi rumput Swiss, palem, oliander, beringin, flamboyan, sawo dan agave. Ada kolam renang air dingin dan panas di halaman belakang. Hidup serasa di surga. Seperti raja dan ratu, apa saja yang diminta segera tersedia.  

Sekarang ini kami sedang menjalani bulan madu kedua. Kami mengunjungi tempat-tempat yang pernah menjadi kenangan, bagiku dan bagi suamiku. Kami mengunjungi kota ini juga. Aku sengaja mendatangi taman ini, sementara suamiku menggelar pertemuan dengan para birokrat, membahas prospek masa depan kemajuan kota. Sungguh tidak terduga, aku bisa ketemu kamu di sini. Ini sungguh luar biasa. Is, itulah seluruh kisahku. Tidak banyak gejolak. Sederhana. Kisah hidup orang biasa yang bahagia. Sekarang giliran kamu. Apa saja yang terjadi sesudah kalian menikah? 

(DIAM. TAK ADA JAWABAN) 

Masa tidak mau bicara? Betul-betul enggan omong? Atau kamu bisu? Is. Is. Bicara! Omong! Is, kamu boleh tahu, antara kita sudah tidak ada ganjalan apa-apa lagi. Sumpah. Aku rela kamu menikahi Sis, karena aku sudah bahagia. Aku punya keluarga. Dengar Is, aku bahagia. Is, aku ba-ha-gi-a. 

Aku samasekali tidak punya niatan mengganggu kamu. Aku tidak punya minat ketemu Sis, atau, barangkali kamu curiga aku akan mati-matian berusaha membujuk Sis dengan harta. Untuk apa? Rumahtanggamu, hak kamu, tidak boleh diganggu. Punyaku adalah milikku. Biarlah tetap seperti itu. Kita bersahabat lagi seperti dulu. Jika kamu punya kesulitan, aku pasti akan menolong. Aku mampu menolongmu. Aku kaya. 

Is, kalimatku bisa kamu pahami ‘kan? Aku sudah cerita jujur. Sekarang giliranmu! Cerita saja apa adanya, jangan ditutup-tutupi. Hei, Is. Tidak ada gunanya bohong. Apalagi menyembunyikan kenyataan. Nanti malam aku janji ketemu kawan-kawan lama kita. Mereka pasti akan cerita juga tentang kamu. Tapi, terus terang, aku lebih suka mendengar dari mulutmu sendiri.  

Is, ini tanganku. Kita salaman. Aku bersedia jadi sahabatmu kembali. Selalu bersedia. Bener. Tatap mataku. Hanya ada cahaya kejujuran. Kata-kataku keluar dari nurani, dari lubuk hati yang paling dalam. Aku tulus. Sumpah.  

(MENGULURKAN TANGAN. DALAM BAYANGAN AS, IS DIAM SAJA DAN SAMASEKALI TIDAK MENYAMBUT ULURAN TANGAN AS)   

Mengapa? Sumpahku masih kamu ragukan? Kalau begitu, bilang, apa yang harus kulakukan supaya keraguanmu hilang. Tidak boleh curiga begitu. Apa alasannya? Tidak patut mencurigai sahabat sendiri. Aku sahabatmu ‘kan? 

(KEMARAHAN AS MELUAP, MERASA DIREMEHKAN)   

Bagus. Niat baikku tidak kamu sambut. Tanggapanmu dingin. Respons nol. Kamu hina aku. Mengapa? Apa Sis sudah cerita tentang aku, sehingga kamu masih tetap cemburu? Bilang apa dia tentang aku? Apa saja upayanya agar kamu terus mendendam dan membenci aku? Dia mengoceh, hubungannya dengan aku sudah sedemikian dalam? Seharusnya bukan kamu yang dia nikahi tapi aku? Dia cerita, pelayanan cintaku jauh lebih istimewa dibanding kamu? Itu kenyataan. Aku selalu berhasil membikin puas hajat asmaranya. Dia selalu bilang begitu. Dia mengoceh apa saja Is? Mengoceh apa saja? Iiis! 
Tidak bisakah kita akhiri cerita lama kita? Cerita usang tentang cinta yang cuma bikin luka? Tidak bisakah kita tetap bersahabat, karena usia semakin tua? Luka lama kita hanya akan menggerogoti usia. Kita akan kelihatan jauh lebih tua dibanding usia yang sebenarnya. Dan itu sangat mengerikan. 

Tapi, baiklah. Kalau kamu tidak mau omong, aku yang akan berterusterang. Kukira, tadinya aku mampu menyimpan semua rahasia, sanggup menahan semua yang kurasa. Nyatanya tidak. Aku tidak sanggup lagi. 

Tadinya, kukira cerita tentang aku dan Sis akan kubawa mati sehingga tidak akan ada yang tahu, kecuali Sis dan aku. Tapi, Is, kamu sudah memaksaku. Kamu berhasil mendorongku ke sudut. Tak ada jalan lain. Aku harus cerita! 

Sebelum Sis berhubungan dengan kamu, dia sudah intim denganku. Kami seperti suami isteri. Dan pernikahan kalian yang begitu tiba-tiba, aku rasakan seperti geledek di siang hari yang menyambar kepala. Aku hancur berkeping-keping. Masa depan habis. Aku edan, gila, sinting, hilang pegangan. Itulah hari kiamat bagiku. Cerita tentang Meinar, Tuti, Maria, hanya karanganku belaka. Gabungan penderitaan mereka bertiga, pada kenyataannya adalah gambaran dari seluruh penderitaanku. 

Aku pergi ke kota lain, dengan benih Sis di perutku. Sial. Nasib sedang mempermainkan. Anakku, anak Sis lahir. Tapi cuma beberapa jam saja dia menangis. Tuhan mengambilnya kembali. Aku semakin habis. Tidak punya apa-apa lagi. Aku seperti Klara Zakanasian remaja, yang pergi dari Kota Gula dengan benih Sang Pacar dalam kandungannya. Dan anakku juga akhirnya mati seperti nasib anak Klara Zakanasian remaja. Mati.  

Lalu nasib menjebloskan aku ke dalam got yang bau dan bacin. Busuk sekali. Tapi tidak bisa ditolak. Aku harus hidup, bangkit. Aku harus membuktikan kepada Sis dan kamu; ini aku, tidak goyah dan bertahan. Aku tidak sudi kalian remehkan. Aku harus kuat. Harus perkasa, dan seperti Nyonya Klara Zakanasian, aku harus datang lagi kepada kalian, untuk membalas dendam. 

Aku benci kalian. Karena kalian aku jadi bola sepak nasib. Aku singgah dalam pelukan banyak lelaki. Ganti-berganti. Seperti Klara Zakanasian. Aku jadi pelacur, karena dunia menolakku. Segala kebahagiaan yang kuceritakan tadi, cuma khayal. Aku tidak punya apa-apa, kecuali segala yang busuk. Itulah bedanya antara aku dan Klara Zakanasian. Aku miskin, dia mahakaya. 

Kalau mampu, ingin kuhancurkan kebahagiaan kalian. Ingin kubunuh kamu dan Sis, berkali-kali. Ingin kuhancurkan semua yang bisa membuat kalian bahagia. Kamu dan Sis sudah merampok masa depanku, mencuri apa yang seharusnya jadi milikku. Aku tidak akan pernah bisa melupakan kalian. Setiap kali bercermin, cuma kalian yang kulihat. Setiap kali merenung, cuma bayangan kalian yang muncul. Setiap kali menuju tidur nyenyak, kalian mendadak muncul dalam mimpi, membikin aku terbangun dan berteriak penuh amarah. Bagaimana bisa bayang-bayang kalian begitu melekat dalam benakku? Kenangan tentang kalian tak bisa dibuang begitu saja. Bayangan kalian jadi pengganggu nomor satu dalam kehidupanku. Aku benci! Benci!

(MERAUNG. BERLARI PERGI. SUARA TERIAKNYA BERGEMA, MENGAGETKAN BURUNG-BURUNG. SEJENAK KEMUDIAN BERANGSUR LENYAP. SEPI KEMBALI)  

(MUSIK DARI RADIO, MENDAYU-DAYU, ANTARA TERDENGAR DAN TIDAK)
 
SIAPA LEBIH KUAT; LAUT ATAU DARATAN?
SIAPA LEBIH TEGAR; BUMI ATAU OMBAK LAUTAN?
MANA LEBIH TEPAT, SATU DARI DUA UNGKAPAN:
OMBAK BERGULUNG LALU MENCIUM DARATAN,
ATAU DARATAN MEMELUK ERAT OMBAK LAUTAN?
SEGALANYA BISA MEMATOK KESIMPULAN TAK SAMA
APALAGI JIKA DILIHAT DARI SISI YANG BERBEDA
JADI SIAPA LEBIH KUAT; KAMU ATAU DIA? 

(DAN AS, SESUNGGUHNYA TIDAK PERGI. DIA HANYA DUDUK DI TEMPAT IS, YANG HADIR DALAM BAYANGAN. SEBAGAI IS, DIA BANGKIT PERLAHAN. MENATAP JAUH. MALAM SUDAH JATUH. BINTANG-BINTANG BERKEDIPAN DI LANGIT NUN JAUH. AS, ATAU IS, TETAP BEKU. SUARA HATINYA BERGEMA) 

Mulutku terkunci. Memang. Aku tak tahu harus memulai dari mana. As tidak tahu, perkawinanku dengan Sis hanya sanggup bertahan tujuh bulan saja. Sis ternyata sudah pernah menikah dan punya dua anak. Dan pada malam wanita itu memberitahuku, Sis pergi, begitu saja. 

Sejak itu aku tak pernah tahu di mana dia berada. Apa sekarang Sis masih hidup atau sudah mati, aku pun tak tahu. Apa dia juga tetap berhasil menjual kebohongan serupa kepada wanita lain? Atau malah sebaliknya? Siapa yang tahu? Bagiku, Sis sudah lama mati. 
Apa cerita itu harus kubeberkan kepada As? Apa gunanya? Apa gunanya ... 

(IS, ATAU AS, DUDUK TERMANGU DI BANGKU TAMAN. SEPI SEMAKIN MENJADI. TAK ADA LAGI SUARA BURUNG. JALANAN DEKAT TAMAN PUN SEAKAN MATI. MUNGKIN, HINGGA KINI, AS ATAU IS, TETAP DUDUK DI BANGKU TAMAN ITU. MERENUNG. MENUNGGU. TAPI APA YANG DITUNGGU?) 



 
CAHAYA PADAM
MONOLOG SELESAI.    
(Diilhami ‘Den Starkare - The Stronger’, August Strindberg) 

  #naskah # monolog # teater # sastra # budaya # indonesia
 


Comments

anonim said…
apa boleh saya bacakan ini di YouTube? nantinya akan saya cantumkan link halaman ini. Terimakasih.

Popular posts from this blog

Monolog Balada Sumarah Karya Tentrem Lestari

Monolog Balada Sumarah Karya Tentrem Lestari SIANG ITU MATAHARI MEMBARA DI ATAS KEPALA.   DI SEBUAH SIDING PENGADILAN TERHADAP SEORANG PEREMPUAN YANG TERTUDUH TELAH MELAKUKAN PEMBUNUHAN TERHADAP MAJIKANNYA, AKU SEPERTI DIDERA UCAPANNYA.   SEPERTI DILUCUTI HINGGA TANGGAL SELURUH ATRIBUT PAKAIAN BAHKAN KULIT-KULITKU.   PEREMPUAN ITU, BERNAMA SUMARAH, TKW ASAL INDONESIA.   DINGIN DAN BEKU WAJAHNYA.   DAN MELUNCURLAH BAIT-BAIT KATA ITU : Dewan Hakim yang terhormat, sebelumnya perkenankan saya meralat ucapan jaksa, ini bukan pembelaan.   Saya tidak merasa akan melakukan pembelaan terhadap diri saya sendiri, karena ini bukan pembenaran.   Apapun yang akan saya katakana adalah hitam putih diri saya, merah biru abu-abu saya, belang loreng, gelap cahaya diri saya.   Nama saya Sumarah.   Seorang perempuan, seorang TKW, seorang pembunuh, dan seorang pesakitan.   Benar atau salah yang saya katakana menurut apa dan s

Monolog KAUS KAKI BOLONG

Monolog KAUS KAKI BOLONG Karya Hermana HMT PANGGUNG TERASA MAGIS. SUASANA DIBANGUN OLEH BUNYI ALAT MUSIK GESEK YANG DIPADU DENGAN SUARA ORANG-ORANG BERGUMAM. DI TENGAH PANGGUNG TAMPAK SATU SOSOK TUBUH TERBARING KAKU, TERTUTUP KAIN BATIK SEPERTI MAYAT DAN DI BELAKANGNYA BERDIRI SEBUAH KURSI LIPAT. NGIGAU Ini bukan salahku ! Aku tidak tahu menahu soal itu. Sungguh ! Tidak. Tidak! Jangan pandangi aku seperti itu. Aku…aku.. ahhh ! LAKI-LAKI ITU BERDIRI. IA MENATAP KE SEGALA PENJURU, YANG MANA TIAP LIRIKANNYA CUKUP PELAN DAN MENGANDUNG MISTERI Kenapa kalian pandangi aku seperti itu ? Jangan asal, ya ! Memangnya aku ini apa ? Aku bukanlah barang antik yang suka di pajang di etalase-etalase, atau bintang film murahan koliksi para cukong, apalagi doger monyet yang sering ngamen di pasar malam ! Oh, barang kali kalian suka sama aku. Suka, ya ? Heh ! Tidak ? Ah suka. Jangan munafik deh. Tu kan…tu kan suka. MELUDAH Pu

Naskah Monolog B A H A Y A Karya Putu Wijaya

Monolog B A H A Y A Karya Putu Wijaya DUDUK DI KURSI MEMAKAI SELIMUT PUTIH, HABIS CUKUR. CAMBANGNYA MAU DI KEROK.             Ketika tukang cukur menghunus pisau untuk meratakan godek, aku tersentak. Aku baru menyadari bahwa kehidupan berbahaya. Dunia manusia sama buasnya dengan rimba raya. Mengancam. Di mana-mana menganga bahaya. Siapa yang dapat menjamin tukang cukur itu tidak hanya akan merapikan godek dan jenggot kita. Bagaimana kalau dia menorehkan pisah itu ke leherku? BERDIRI, MENGHINDARI BAHAYA. Kita tidak boleh mengambil resiko untuk potong rambut di sembarang tempat. Karena berhubungan dengan tukang potong rambut yang tak dikenal, setiap saat bisa berarti memotong leher. Bahkan dengan tukang cukur yang sudah dikenal pun selalu ada bahaya. Bagaimana kalau pisau yang terhunus di tangannya itu menimbulkan inspirasinya, memanggil kenang-kenangannya kepada perasaan marah, jengk