Monolog
DUA CINTA
Karya N.
RIANTIARNO
TAMAN KOTA, PADA SUATU SORE. AS BICARA, SEAKAN IS --SAHABATNYA -- DUDUK
DI DEKATNYA. SEPI. BURUNG-BURUNG BERSIAP TIDUR DI SARANG. PADA KENYATAANNYA:
AS, ADALAH JUGA IS)
AS
Tidak. Tidak. Makin lama aku
semakin yakin, nasibku jauh lebih baik dibanding nasibmu. Lihat seluruh wujud
dirimu! Kamu nampak lebih tua. Padahal umur kita sebaya. Aku yakin batinmu
menderita. Salah sendiri, kenapa kamu pilih Sis. Apa dia? Siapa? Apa hebatnya?
Kaya? Luar biasa? Jenius? Nol besar. Cuma kantung nasi. Banyak sekali kekurangannya.
Dia sama dengan kekurangan. Gampang bosan, dan waktu itu, lontang-lantung.
Kantungnya selalu kosong. Bahkan dompet pun dia tak punya.
Sis parasit. Benalu bagi
keluarganya. Dan aku tidak mau menikah dengan lelaki yang jelas-jelas kasih
isyarat tak akan mampu bertanggungjawab. Sekali benalu, sulit diperbaiki. Masih
begitu ‘kan
dia sekarang? Aku tak percaya Sis sudi mengotori tangan, bekerja banting tulang
demi keluarga. Sis bukan tipe seperti itu. Dia priyayi, menak, yang
mengharapkan segala sesuatunya sudah tersedia di atas baki emas. Tinggal
mengunyah seperti kerbau. Lebih gemar bermalas-malasan, tapi maunya selalu
dihormati.
Sis memang ganteng. Arjuna.
Rama. Banyak gadis tergila-gila. Mabok kepayang. Lupa diri, tidak peduli, asal
bisa selalu dekat. Aku, kamu, Maria, Tuti, Meinar, Dewi, dan masih banyak lagi
yang kena jerat kegantengannya. Tapi wajah ‘kan bisa berubah. Sekarang badannya pasti
mulai gemuk. Perut buncit, rambut di kepala rontok, menipis, malah mungkin
sudah botak dia. Berapa gigi yang copot? Sudah pakai gigi palsu? Jalannya? Kian
lamban ‘kan?
Pasti berbagai penyakit datang. Darah tinggi, gula, asam urat, rematik,
jantung. Entah bagaimana dia di ranjang. Apa masih suka bikin kejutan, dan
tiba-tiba menyerang? Atau, sudah tak mampu lagi dia?
(TERTAWA)
Jangan tersinggung. Jangan
marah. Cuma bercanda. Kami belum pernah saling menyentuh. Mimpi-mimpi remaja
cuma kusimpan dalam benak. Jeratmu ternyata jauh lebih ampuh. Sis menyerah, tak
berkutik. Sejak itu dia tak mau lagi menengok gadis-gadis lain. Cuma kamu. Aku
akui, itulah hari berkabung bagi kami semua. Hari ketika sumpah serapah meledak
dan kamu dibenci banyak gadis. Nasib. Takdir. Pernikahan kalian. Sialan.
Mungkin takdir juga yang
mempertemukan kita di sini. Tidak tahu, untuk apa kamu di sini. Tidak tahu juga
mengapa aku ke mari. Tapi aku tahu, dulu kalian sering bercintaan di sini. Di
bangku ini. Jangan salah sangka, aku tidak pernah mengintip. Cerita itu sudah
jadi rahasia umum. Kami sering menggosipkannya dengan hati kesal dan cemburu.
Orang bilang, kalian paling
suka diam berjam-jam sambil berpegangan tangan. Duduk rapat. Lalu dia memeluk
kamu, membelai rambut kamu, menyentuh pipimu, kamu memejamkan mata dan dia
mencium bibirmu. Lalu adegan seperti dalam film-film Barat kalian lakukan. Kamu
sogok penjaga taman supaya kalian bisa bebas berbuat mesum, sepuasnya. Kamu
jerat Sis di taman ini, dengan cara kasar, taktik murahan. Dan makin sering
kamu rayu, semakin erat dia terjerat. Tak mungkin lagi bisa lepas.
(TERTAWA)
Ah, untuk apa cerita itu
diulang lagi? Tidak ada gunanya. Berapa anakmu sekarang? Sepuluh? Limabelas?
Berapa perempuan berapa lelaki? Mirip siapa wajah anak-anakmu? Sis? Kamu? Atau,
kalian tidak ada anak sama sekali? Maaf jika dugaanku tadi salah. Harus kuakui,
pasti karena cemburu. Mungkin kalian bahagia. Memang, seharusnya kita tetap
bersahabat seperti dulu sebelum Sis jadi batu sandungan bagi hubungan kita.
Seharusnya kita bisa melupakannya. Harus. Toh masa lalu tidak mungkin kembali.
Mana mampu kita mengubah mundur jarum waktu? Mustahil.
Waktu undangan pernikahan
kalian kami terima, jujur kuakui, seketika hati kami luka. Luka paling buruk.
Tak ada darah mengucur, tapi sakitnya bukan alang kepalang. Kami merasa kalah,
dikhianati, hancur. Kenapa justru kamu?
Ada yang meraung-raung. Marah.
Menangis seminggu. Ada
yang langsung pulang kampung karena putus-asa. Maria malah sudah siap-siap
gantung diri. Untung ketahuan ibu asrama dan sempat dicegah. Tuti paling parah.
Hampir saja otaknya tak bisa disembuhkan. Dia sempat dirawat di rumah sakit
jiwa, dan sekarang jadi kembang rumah plesiran di Surabaya. Aku? Aku sakit panas dua bulan.
Demam. Mengigau. Menganggap dunia sudah kiamat.
Heran. Siapa Sis? Mengapa
begitu banyak gadis yang patah hati? Apa kelebihannya? Apa bedanya dengan
pemuda-pemuda lain? Tapi, aku pun tahu, betapa besar pengaruh cintaku kepada
Sis. Dulu, aku sering diganggu keinginan, mencari alamat kalian. Dan kalau
sudah ketemu, ingin kubunuh dia. Kucacah-cacah tubuhnya. Kusebar di jalanan,
biar jadi makanan anjing. Sudah dia jatuhkan putusan, menandatangani nasib
jelek puluhan gadis yang tak berdosa. Apa dia berhak? Sinting. Edan. Setan. Sis
tidak punya hak berbuat sekeji itu. Kami sengsara, serasa mati dalam hidup yang
merana. Dia nyaman, enak, nikmat, hidup berumahtangga, punya anak, bahagia. Dia
tidak peduli apa yang dialami gadis-gadis yang ditinggalkannya. Tidak peduli
janji-janji asmara
yang pernah dia ucapkan kepada kami. Tidak peduli.
Kamu pasti tahu, atau paling
tidak, merasa, Sis punya hubungan dengan banyak gadis. Dia seperti lalat,
menyebar telurnya sembarangan. Dan kami, yang sudah dia buahi, hidup seperti
belatung, coba menggapai langit, sendirian, lalu mati begitu saja. Dia ungkap
tipuan asmaranya kepada setiap gadis yang tak sadar sudah dibohongi
berkali-kali. Bagai ular dia mengigit dan menyesapkan racun di jiwa kami. Kami
kena racun cinta Sis. Celakanya, kami rela dipermainkan. Pasrah, percaya saja,
dan masih terus menyimpan harapan, mungkin, pada suatu saat, cinta Sis akan
datang. Sialan.
Sis mata keranjang, don yuan
picisan. Pedagang cinta. Pencipta air mata. Mau menikah denganmu pasti ada
maunya. Tapi, mungkin juga kamu yang terpandai memasang tali jerat. Bisa
dipahami kalau Sis bertekuk-lutut.
Kamu bersiasat, menjebloskan
Sis ke dalam suatu dilema sehingga dia terpaksa mengambil tanggungjawab itu.
Ayo, Is, tidak perlu membantah. Semua tahu. Aku marah kalau kamu menyangkal.
Cerita sudah beredar, gosip terlanjur menyebar. Seluruh kota tahu. Kamu sebar kabar, Sis-lah bapak
anak yang tengah kamu kandung. Kamu tuntut supaya Sis segera menikahimu.
Padahal apa nyatanya?
Tidak ada bayi dalam
kandunganmu, tidak ada kehamilan. Tidak ada alasan untuk bertanggungjawab.
Sialan. Sis bisa bebas. Tapi dia tetap memilihmu. Dan waktu Sis akhirnya
berikrar di depan penghulu, kamu puas. Taktik kasar, tipuan basi, tapi harus
diakui, di tanganmu, masih tetap ampuh.
Ah, sudahlah. Semua sudah
sejarah. Dan nyatanya aku harus bersyukur karena tidak menikahi Sis. Belum
tentu bisa kutemukan bahagia. Apalagi jika Sis tetap malas, pengangguran, dan
lontang-lantung. Lalu bagaimana nasib anak-anakku? Harus rajin meminta bantuan
kepada ayah-ibu dan saudara-saudaraku. Sampai kapan mereka bisa tahan? Lalu,
kalau mereka sudah bosan dimintai tolong, kami akan mengemis di jalanan.
(SEJENAK HENING)
Mengapa diam saja? Mengapa
tidak berterus terang? Aku buta keadaan kalian. Hanya bisa meraba-raba,
menduga-duga. Apa betul kalian bahagia? Atau sengsara? Is, bicara! Apa?
Bagaimana kondisi keuangan kalian? Sudah punya rumah sendiri? Atau masih
kontrakan? Atau kalian menumpang di rumah saudara? Punya mobil? Telepon? Teve?
Lemari es? Mesin cuci? Microwave? Punya kolam renang di halaman belakang
rumah? Atau kalian cuma peminta-minta? Bicara! Is, bicara! Aku akan mendengarkan
saja!
(MENUNGGU LAMA. TAK SEPATAH
PUN JAWABAN)
Baiklah. Mungkin kamu enggan.
Tidak apa. Aku rela cerita lebih dulu, dengan jujur. Tapi janji, sesudah aku,
giliran kamu. Dan kamu juga harus cerita semuanya dengan jujur. Begitu? Baik.
Aku mulai kisahnya.
Sesudah kalian menikah, dan
aku sembuh, aku berkenalan dengan seorang pemuda. Anak tunggal konglomerat
pemilik pabrik besar pengolahan batubara di Kalimantan, juga pemilik
hotel-hotel bintang lima di Surabaya
dan Jakarta.
Kami bercintaan hanya beberapa bulan, kemudian aku dia lamar. Kuterima
lamarannya. Hidup selanjutnya sudah bisa kamu tebak. Ya ‘kan? Dia pewaris usaha keluarga. Kami
bahagia. Anak lima.
Dua lelaki, tiga perempuan. Kini, aku punya semua yang diimpikan perempuan.
Rumah besar dan mewah, dengan halaman luas di depan dan belakang. Kebun
ditumbuhi rumput Swiss, palem, oliander, beringin, flamboyan, sawo dan agave. Ada kolam renang air
dingin dan panas di halaman belakang. Hidup serasa di surga. Seperti raja dan
ratu, apa saja yang diminta segera tersedia.
Sekarang ini kami sedang
menjalani bulan madu kedua. Kami mengunjungi tempat-tempat yang pernah menjadi
kenangan, bagiku dan bagi suamiku. Kami mengunjungi kota ini juga. Aku sengaja mendatangi taman
ini, sementara suamiku menggelar pertemuan dengan para birokrat, membahas
prospek masa depan kemajuan kota.
Sungguh tidak terduga, aku bisa ketemu kamu di sini. Ini sungguh luar biasa.
Is, itulah seluruh kisahku. Tidak banyak gejolak. Sederhana. Kisah hidup orang
biasa yang bahagia. Sekarang giliran kamu. Apa saja yang terjadi sesudah kalian
menikah?
(DIAM. TAK ADA JAWABAN)
Masa tidak mau bicara?
Betul-betul enggan omong? Atau kamu bisu? Is. Is. Bicara! Omong! Is, kamu boleh
tahu, antara kita sudah tidak ada ganjalan apa-apa lagi. Sumpah. Aku rela kamu
menikahi Sis, karena aku sudah bahagia. Aku punya keluarga. Dengar Is, aku
bahagia. Is, aku ba-ha-gi-a.
Aku samasekali tidak punya
niatan mengganggu kamu. Aku tidak punya minat ketemu Sis, atau, barangkali kamu
curiga aku akan mati-matian berusaha membujuk Sis dengan harta. Untuk apa?
Rumahtanggamu, hak kamu, tidak boleh diganggu. Punyaku adalah milikku. Biarlah
tetap seperti itu. Kita bersahabat lagi seperti dulu. Jika kamu punya
kesulitan, aku pasti akan menolong. Aku mampu menolongmu. Aku kaya.
Is, kalimatku bisa kamu pahami
‘kan? Aku sudah cerita jujur. Sekarang giliranmu! Cerita saja apa adanya,
jangan ditutup-tutupi. Hei, Is. Tidak ada gunanya bohong. Apalagi
menyembunyikan kenyataan. Nanti malam aku janji ketemu kawan-kawan lama kita.
Mereka pasti akan cerita juga tentang kamu. Tapi, terus terang, aku lebih suka
mendengar dari mulutmu sendiri.
Is, ini tanganku. Kita
salaman. Aku bersedia jadi sahabatmu kembali. Selalu bersedia. Bener. Tatap
mataku. Hanya ada cahaya kejujuran. Kata-kataku keluar dari nurani, dari lubuk
hati yang paling dalam. Aku tulus. Sumpah.
(MENGULURKAN TANGAN. DALAM
BAYANGAN AS, IS DIAM SAJA DAN SAMASEKALI TIDAK MENYAMBUT ULURAN TANGAN AS)
Mengapa? Sumpahku masih kamu
ragukan? Kalau begitu, bilang, apa yang harus kulakukan supaya keraguanmu
hilang. Tidak boleh curiga begitu. Apa alasannya? Tidak patut mencurigai sahabat
sendiri. Aku sahabatmu ‘kan?
(KEMARAHAN AS MELUAP,
MERASA DIREMEHKAN)
Bagus. Niat baikku tidak kamu
sambut. Tanggapanmu dingin. Respons nol. Kamu hina aku. Mengapa? Apa Sis sudah
cerita tentang aku, sehingga kamu masih tetap cemburu? Bilang apa dia tentang
aku? Apa saja upayanya agar kamu terus mendendam dan membenci aku? Dia
mengoceh, hubungannya dengan aku sudah sedemikian dalam? Seharusnya bukan kamu
yang dia nikahi tapi aku? Dia cerita, pelayanan cintaku jauh lebih istimewa
dibanding kamu? Itu kenyataan. Aku selalu berhasil membikin puas hajat
asmaranya. Dia selalu bilang begitu. Dia mengoceh apa saja Is? Mengoceh apa
saja? Iiis!
Tidak bisakah kita akhiri
cerita lama kita? Cerita usang tentang cinta yang cuma bikin luka? Tidak
bisakah kita tetap bersahabat, karena usia semakin tua? Luka lama kita hanya
akan menggerogoti usia. Kita akan kelihatan jauh lebih tua dibanding usia yang
sebenarnya. Dan itu sangat mengerikan.
Tapi, baiklah. Kalau kamu
tidak mau omong, aku yang akan berterusterang. Kukira, tadinya aku mampu
menyimpan semua rahasia, sanggup menahan semua yang kurasa. Nyatanya tidak. Aku
tidak sanggup lagi.
Tadinya, kukira cerita tentang
aku dan Sis akan kubawa mati sehingga tidak akan ada yang tahu, kecuali Sis dan
aku. Tapi, Is, kamu sudah memaksaku. Kamu berhasil mendorongku ke sudut. Tak
ada jalan lain. Aku harus cerita!
Sebelum Sis berhubungan dengan
kamu, dia sudah intim denganku. Kami seperti suami isteri. Dan pernikahan
kalian yang begitu tiba-tiba, aku rasakan seperti geledek di siang hari yang
menyambar kepala. Aku hancur berkeping-keping. Masa depan habis. Aku edan,
gila, sinting, hilang pegangan. Itulah hari kiamat bagiku. Cerita tentang
Meinar, Tuti, Maria, hanya karanganku belaka. Gabungan penderitaan mereka bertiga,
pada kenyataannya adalah gambaran dari seluruh penderitaanku.
Aku pergi ke kota lain, dengan
benih Sis di perutku. Sial. Nasib sedang mempermainkan. Anakku, anak Sis lahir.
Tapi cuma beberapa jam saja dia menangis. Tuhan mengambilnya kembali. Aku semakin
habis. Tidak punya apa-apa lagi. Aku seperti Klara Zakanasian remaja, yang
pergi dari Kota Gula dengan benih Sang Pacar dalam kandungannya. Dan anakku
juga akhirnya mati seperti nasib anak Klara Zakanasian remaja. Mati.
Lalu nasib menjebloskan aku ke
dalam got yang bau dan bacin. Busuk sekali. Tapi tidak bisa ditolak. Aku harus
hidup, bangkit. Aku harus membuktikan kepada Sis dan kamu; ini aku, tidak goyah
dan bertahan. Aku tidak sudi kalian remehkan. Aku harus kuat. Harus perkasa,
dan seperti Nyonya Klara Zakanasian, aku harus datang lagi kepada kalian, untuk
membalas dendam.
Aku benci kalian. Karena
kalian aku jadi bola sepak nasib. Aku singgah dalam pelukan banyak lelaki.
Ganti-berganti. Seperti Klara Zakanasian. Aku jadi pelacur, karena dunia menolakku.
Segala kebahagiaan yang kuceritakan tadi, cuma khayal. Aku tidak punya apa-apa,
kecuali segala yang busuk. Itulah bedanya antara aku dan Klara Zakanasian. Aku
miskin, dia mahakaya.
Kalau mampu, ingin kuhancurkan
kebahagiaan kalian. Ingin kubunuh kamu dan Sis, berkali-kali. Ingin kuhancurkan
semua yang bisa membuat kalian bahagia. Kamu dan Sis sudah merampok masa
depanku, mencuri apa yang seharusnya jadi milikku. Aku tidak akan pernah bisa
melupakan kalian. Setiap kali bercermin, cuma kalian yang kulihat. Setiap kali
merenung, cuma bayangan kalian yang muncul. Setiap kali menuju tidur nyenyak,
kalian mendadak muncul dalam mimpi, membikin aku terbangun dan berteriak penuh
amarah. Bagaimana bisa bayang-bayang kalian begitu melekat dalam benakku? Kenangan
tentang kalian tak bisa dibuang begitu saja. Bayangan kalian jadi pengganggu
nomor satu dalam kehidupanku. Aku benci! Benci!
(MERAUNG. BERLARI PERGI. SUARA TERIAKNYA BERGEMA, MENGAGETKAN
BURUNG-BURUNG. SEJENAK KEMUDIAN BERANGSUR LENYAP. SEPI KEMBALI)
(MUSIK DARI RADIO, MENDAYU-DAYU, ANTARA TERDENGAR DAN TIDAK)
SIAPA LEBIH KUAT; LAUT ATAU
DARATAN?
SIAPA LEBIH TEGAR; BUMI
ATAU OMBAK LAUTAN?
MANA LEBIH TEPAT, SATU DARI
DUA UNGKAPAN:
OMBAK BERGULUNG LALU
MENCIUM DARATAN,
ATAU DARATAN MEMELUK ERAT
OMBAK LAUTAN?
SEGALANYA BISA MEMATOK
KESIMPULAN TAK SAMA
APALAGI JIKA DILIHAT DARI
SISI YANG BERBEDA
JADI SIAPA LEBIH KUAT; KAMU
ATAU DIA?
(DAN AS, SESUNGGUHNYA TIDAK PERGI. DIA HANYA DUDUK DI TEMPAT IS, YANG
HADIR DALAM BAYANGAN. SEBAGAI IS, DIA BANGKIT PERLAHAN. MENATAP JAUH. MALAM
SUDAH JATUH. BINTANG-BINTANG BERKEDIPAN DI LANGIT NUN JAUH. AS, ATAU IS, TETAP
BEKU. SUARA HATINYA BERGEMA)
Mulutku terkunci. Memang. Aku
tak tahu harus memulai dari mana. As tidak tahu, perkawinanku dengan Sis hanya
sanggup bertahan tujuh bulan saja. Sis ternyata sudah pernah menikah dan punya
dua anak. Dan pada malam wanita itu memberitahuku, Sis pergi, begitu
saja.
Sejak itu aku tak pernah tahu
di mana dia berada. Apa sekarang Sis masih hidup atau sudah mati, aku pun tak
tahu. Apa dia juga tetap berhasil menjual kebohongan serupa kepada wanita lain?
Atau malah sebaliknya? Siapa yang tahu? Bagiku, Sis sudah lama mati.
Apa cerita itu harus
kubeberkan kepada As? Apa gunanya? Apa gunanya ...
(IS, ATAU AS, DUDUK
TERMANGU DI BANGKU TAMAN. SEPI SEMAKIN MENJADI. TAK ADA
LAGI SUARA BURUNG. JALANAN DEKAT TAMAN PUN
SEAKAN MATI. MUNGKIN, HINGGA KINI, AS ATAU IS, TETAP DUDUK DI BANGKU TAMAN ITU. MERENUNG. MENUNGGU. TAPI APA YANG DITUNGGU?)
CAHAYA PADAM
MONOLOG SELESAI.
(Diilhami ‘Den Starkare - The
Stronger’, August Strindberg)
#naskah # monolog # teater # sastra # budaya # indonesia
Comments